O.1 × Bala Bantuan

609 50 19
                                    

Gelisah di tempat, keringat sebesar biji kenari terlihat menggerundel di kening dan pelipis cowok di baris tengah sebelah Timur lapangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gelisah di tempat, keringat sebesar biji kenari terlihat menggerundel di kening dan pelipis cowok di baris tengah sebelah Timur lapangan. Apes. Seharusnya, Banyu nggak semudah ini percaya kata-kata Sandi sekalipun ada embel-embel orang dalam di belakang namanya.

"Mampus."

Banyu melirik Sandi yang sibuk meratap. Nyatanya, jabatan ketua OSIS yang Sandi sandang nggak lantas bikin dia punya privilege. Malah, Ketua OSIS serampangan SMK Bayanaka itu nggak lama lagi bakal ikut berjejer di dekat tiang bendera sana, menunggu giliran digunduli Pak Hardi.

"Gimana caranya kabur?" Banyu berbisik, melihat Pak Hardi datang dari arah parkiran sambil membawa gunting.

"Pura-pura gelut," usul Sandi.

"Siapa? Lo sama gue?"

Sandi mengangguk, lalu menyingsingkan lengan seragam. "One by one."

"Bokap lo guru, San," Yuda di depan Banyu menyambar, "nggak takut dihajar beneran lo?"

"Ya takut." Kepalan sakal Sandi mengulur perlahan. Tatapannya sendu mengarah ke tanah. "Atau mau pura-pura pingsan?"

"Skip!" tolak Banyu tegas. Banyu nggak jago akting. Seumur-umur, pingsan dan kesurupan adalah dua hal yang belum pernah dia alami. Kalau menangani orang kerasukan, itu sih pernah. Dulu, waktu kemah penerimaan tamu Ambalan.

"Yang merasa atribut hari ini tidak lengkap, silakan maju. Rambutnya yang cowok itu. Yang udah panjang-panjang, tidak pakai topi, dasi, dan sabuk bukan asli dari sekolah. Dalam hitungan kesepuluh, satu!" Suara Bu Yanti si guru konseling melantun bagai lullaby mimpi buruk di telinga Banyu. "Yang pakai sepatu selain hitam juga sekalian. Sudah diperingatkan berkali-kali, tapi masih saja bandel."

Banyu makin di ujung tanduk. Sepatunya—demi bakwan kantin yang harganya sering naik karena wortel katanya mahal—kebetulan juga nggak berwarna hitam hari ini. Sebab, biasanya sehabis upacara langsung olahraga dilanjut produktif. Hampir nggak ada yang peduli anak-anak broadcasting pakai sepatu apa!

Kecuali Bu Yanti, tentu.

"Dua!"

Baiklah. Jadi, apa lancang kalau Banyu sekarang berdoa supaya Tuhan seenggaknya berkenan memberikan bantuan? Nggak muluk-muluk, kok. Hanya dengan menurunkan ... badai topan, mungkin?

"Tiga!"

Beberapa anak berangsur-angsur maju. Ada satu, dua—ah, lima anak sekaligus dan masih bertambah.

"Empat!"

Pak Hardi mulai bergerak ke barisan. Mencari dengan mata kepala sendiri murid-murid bandel pelanggar aturan.

Demi Tuhan, Banyu nggak mau ke depan.

"Lima! Jangan sampai hitungan selesai dan saya lihat masih ada yang sembunyi. Sanksinya bisa lebih berat. Enam!"

Selesai sudah. Pak Hardi makin dekat dan Banyu masih belum bisa kabur.

"Tujuh!"

Banyu merasakan pundak kanannya ditepuk pelan. Kepalanya menegok. Menjumpai seseorang mengedikkan kepala, minta diikuti. Berbekal pasrah, Banyu mengekor. Sambil terus bergerak di antara orang-orang di barisan tengah, sebuah rompi hitam disodorkan. Transisi keduanya mulus, hampir nggak tampak. Maka begitu pilar manusia habis di ujung barisan, Banyu keluar sendirian.

Dalam waktu singkat, cowok itu berhasil menyamar. Diam-diam mengendap menuju jajaran divisi keamanan OSIS di belakang barisan dan menurunkan topi menghindari tatapan orang-orang. Banyu sempatkan dulu menyimpan sepatu bergaris putihnya di belakang pot bunga, baru kemudian duduk bersila di dekat bangku tempat anak basket biasanya rehat.

"Sepuluh!"

Banyu harap-harap cemas. Takut sekali jika penyamaran ini gagal dan dia ketahuan. Bisa makin habis dijemur seharian.

"Baik, untuk sisanya, terima kasih karena sudah menjadi murid yang baik. Menaati peraturan itu salah satu bentuk kedisiplinan dan disiplin merupakan bekal paling dasar untuk menjadi orang sukses. Selain yang ada di dekat tiang bendera, kalian boleh kembali ke kelas."

Kerumunan benar-benar bubar teratur meninggalkan lapangan. Berangsur-angsur suara Bu Yanti teredam oleh suara sepatu dan cakap khalayak.

Apa ini artinya Banyu aman?

"Bay."

Sepasang sepatu berhenti di depan Banyu. Dengan nyali yang tersisa, cowok itu menengadah.

"Nggak ketahuan, kan?"

Banyu menyipit juga bangkit agar bisa sejajar. Melepas topi serta mengembalikan rompi ilegalnya ke dekapan sang pemilik.

"Makasih," ujarnya.

Rekah garis asimetris kecil itu hadir sekilas. Tipis dan singkat, khas Yumna sekali.

"Mau gue tunggu di sini?" Banyu memberi tawaran, sekadar balas budi—kalau boleh.

Yumna nggak menolak. "Tapi gue ke Chelsea dulu."

Hanya perlu anggukan setuju, wujud Yumna benar berlalu pergi. Mungkin, makasih saja nggak cukup. Harusnya, ada traktiran atau hadiah balasan sebagai bentuk rasa terima kasih.

Benar, harusnya begitu.

Seporsi soto Mang Aan sepertinya ide bagus.













...

kisah kecil ini dimulai dari mereka.

kisah kecil ini dimulai dari mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

HAI! work ini nggak muncul sendirian. Ada dua cerita lain yang masih satu universe dan bisa kamu temukan di Kiakay_ dan jiasylee

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang