O.7 × Anomali

143 35 8
                                    

Gerbang hitam super tinggi itu terdorong menggeser seukuran tubuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerbang hitam super tinggi itu terdorong menggeser seukuran tubuh. Yuda mengetuk-ketukan ujung sepatunya ke permukaan paving halaman rumah. Menjumpai Yumna kebetulan lewat, dua-duanya kompak melempar senyum.

"Pagi," sapa Yumna. Rambutnya digulung ke atas, menyisakan juntaian lembut rambut yang nggak bisa dikuasai di beberapa sisi wajah. Hidungnya yang beberapa waktu lalu sempat memerah terserang flu telah kembali normal. Mancung dan tajam.

Yuda membiarkan kakinya berlari kecil disejajari Yumna. Selama sekian waktu, papasan semacam ini mungkin bisa dibilang kesempatan langka, satu banding sekian puluh. Bukan karena sibuk. Melainkan presisi waktu saja yang jarang akurat. Yumna biasa memulai lebih pagi, sementara Yuda lebih suka ketika matahari sudah muncul dan menyebar hawa hangat.

"Telat bangun?" Yuda bersuara. Melirik sekilas sosok di sebelah dan menemukannya mengangguk sekali.

"Lembur tugas."

"Tipikal."

Yumna mengeluarkan tawa renyah singkat. "Proyek lo gimana?"

"Alot," jawab Yuda tanpa perlu berpikir. Bisa diprediksi alasan dari munculnya garis wajah kelewat lelah pada cowok itu padahal hari ini Sabtu. Yumna paham kenapa.

"Tapi akhirnya gimana?"

"Beres." Yuda melihat kaleng bekas teronggok di tepi jalan. Inisiatif, dia ambil dan buang ke bak sampah yang ada di tiap sudut rumah. "Akhirnya nemu tema."

"Keren." Yumna memuji karena takjub. Bukan reaksi yang berlebihan. Sebab sekeras apapun Yuda mengeluh nggak sanggup, pada akhirnya memang cuma dia yang bisa menyatukan air dan minyaknya Broadcasting. "Hasilnya?"

"Survival."

Yumna terperanjat. "Unik, ya."

"Aneh kali maksud lo," koreksi Yuda, berhasil memancing gelak yang lebih muda.

"Tapi Sandi udah tau?"

Yuda menggeleng, "Senin baru mau gue kabari."

"Tapi kalo Sutradara nanti setuju...." Sengaja nggak melanjutkan, ada sepercik gelisah di nada bicara Yumna, dan si laki-laki tahu alasannya.

"Bukan hutan yang ada macannya kok, Yum." Yuda menggaruk pelipis yang gatal karena keringat. "Nggak serem. Tenang aja."

Yumna terdiam.

"Tau sendirilah siapa yang punya ide," imbuh Yuda.

Yumna berhenti, menunduk melihat ujung lipatan celananya yang turun. "Seleranya Banyu emang nggak bisa ditebak," celetuknya ringan.

"Iya," Yuda menatap Yumna yang kini membungkuk memperbaiki lipatan, "seleranya Banyu emang nggak ketebak."

"Omong-omong, proyeknya sampe malam, ya?" Yumna mendongak, tapi tangannya masih menggulung sisi celana yang satu lagi. "Kemarin gue lihat mobilnya Chelsea lewat depan rumah."

Punggung Yuda menegak, dia berdeham.

"Lo belum tidur jam segitu?"

"Kan udah bilang, lembur tugas."

"Lain kali jangan tidur larut banget, nggak baik."

Bersamaan dengan itu, Yuda menambah jangkauan kakinya hingga berhasil meninggalkan Yumna di belakang. Si Kavalina itu mendengungkan ucapan lirih. Yang mungkin—cuma bisa didengar telinganya sendiri.

"Kayak bukan Yuda."














...

playlist spotify gue ... ilang.

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang