1.6 × Kebetulan

127 28 4
                                    

Bukan pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan pulang. Rutinitas lanjutan setelah sparring bola adalah mampir ke minimarket. Biasanya berhenti cuma buat beli minum dingin atau roti, tapi kali ini ditambah shampo dan sabun pesanan mama.

"Pulsanya, Kak?"

Mendapat gelengan—seperti yang selalu terjadi, pesanan Banyu langsung diproses dengan cepat. Selagi menunggu struk belanja, Banyu iseng memeriksa waktu di layar handphone—21:34. Sudah malam.

"Kembaliannya, Kak. Terima kasih."

Plastik pesanan mama sudah aman. Waktunya pulang. Rasanya gerah. Bayangan untuk langsung mandi dan tidur telah memenuhi isi kepala Banyu seperti teror. Lelah. Badannya lengket dan nggak nyaman. Namun, bertepatan dengan keluarnya Banyu dari minimarket, rintik yang sejak tadi menetes seketika berubah jadi gemuruh hujan.

Mampus, helm!

Cepat-cepat Banyu berlari menghampiri motor. Basah, sih, dan—mungkin, jadi keputusan yang sedikit salah juga. Pasalnya, akurasi waktunya persis bertepatan dengan melintasnya seseorang dari arah belakang. Menyenggol pundak Banyu tanpa sengaja, perut cowok itu terantuk tepi setang motor. Aih, ngilu.

Banyu meringis, tapi terlalu malas memperpanjang perkara. Makanya, cuma mengeluh dalam benak dan langsung menepi ke emperan minimarket. Walaupun—kalau Banyu boleh mengakui, sakitnya nggak main-main.

Hawa dingin mulai menerjang kaki Banyu yang cuma dilapisi celana di atas lutut. Lantunan musik era 90-an samar-samar terdengar masih terputar ke seluruh sudut minimarket. Menemani Banyu yang masih memegangi bekas sodokan.

Dering telepon bergaung berkali-kali. Bukan punya Banyu, tapi milik sosok yang tadi menabrak Banyu. Heran saja. Suaranya senyaring itu, tapi sepertinya si pemilik nggak ada usaha buat menghentikan panggilan.

Dua kali.

Tiga kali.

Panggilan beruntun terus diabaikan. Banyu gatal mau menegur, tapi menahan ucapan yang sudah ada di pangkal tenggorokan saat kini giliran hape Banyu sendiri yang bergetar disambangi telepon.

"Kenapa, Yum?"

Kavalina Yumna, di sisi lain telepon, mulai berceloteh. Menghadirkan raut khawatir di muka Banyu.

"Tapi dia nggak cerita apa-apa?" Dahi Banyu tertekuk. "Sama sekali?"

Hening. Banyu menoleh, mengawasi sekeliling. Cuma ada motornya yang kehujanan. Juga, perempuan di sisi lain geladeri toko yang tengah menunduk mengamati lantai yang terkena cipratan tanah hasil hujan.

"Gue bantu ngehubungin nanti." Banyu diam sebentar, mendengarkan balasan Yumna. "Iya, pasti."

Sambungan diakhiri dengan helaan dari anak bungsu Chandra. Ada-ada saja, sih.

Persis setelah hujan reda, Banyu meraih kantung belanjanya dan terburu meninggalkan minimarket. Dua langkah berjarak dari motornya, Banyu mendadak terdiam. Matanya sekali lagi mengarah ke sisi depan minimarket, terpatri pada siluet perempuan yang kini tengah menunduk memeriksa hape.

Banyu menunggu. Memang sengaja.

Dan ketika selisih keduanya nggak jauh, Banyu ulurkan hastanya secepat yang ia bisa. Mencekal pergelangan.

"Chel."

Banyu yakin, dia nggak salah orang. Sebab, kepala yang ia maksud memang mendongak.

Dan hal yang pertama Banyu lihat adalah air mata.


















...

yang lucu adalah, gue beneran nulis bagian per bagian secara acak. bagian 7 belum tentu ada di chapter 7, 8 bisa jadi gue tukar jadi chapter 10—dan seterusnya. bagian ini bahkan udah gue tulis duluan dibanding chapter sembilan dan kawan-kawannya, mungkin bareng chapter 1-5 kalo gue nggak salah inget.

well, berhubung alurnya juga nggak ribet alias gampang "nempel"-nya antara satu sama yang lain jadi yaaa jadilah.

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang