2.5 × Pengakuan Lain

131 31 3
                                    

"Minggir, minggir!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Minggir, minggir!"

Tangan Sandi yang panjang bergerak-gerak brutal membelah kerumuman. Dua sosok yang jadi objek perhatian terlihat masih bersitegang di sela tubuh-tubuh tinggi yang lebih dulu datang. Yumna berusaha mengikuti jejak Sandi, tapi gagal karena perawakannya nggak bisa segesit si ketua OSIS. Hampir menyerah menunggu di belakang kerumunan, seseorang tiba-tiba mendekap pundak dan menuntunnya menyibak punggung orang-orang dengan tergesa.

Decakan terganggu saling sahut memenuhi rungu Yumna. Maaf, batinnya. Yumna mengaduh, beberapa kali kakinya tersandung dan nyaris terjerembap saking padatnya manusia. Sebetulnya nggak ada cukup ruang buat bergerak kalau bukan karena Banyu terlalu nekat menerobos pagar-pagar manusia di sana.

Persis saat akhirnya dia tiba di barisan paling depan, Yumna segera menghambur mendekati salah satu sosok yang wajahnya merah padam.

"Chelsea," panggil Yumna. Kehadirannya hanya disambut lirikan tanpa jawaban. Yumna ganti menoleh memandang seseorang yang lebih tinggi, yang masih bergeming. Yumna menggeleng kecil.

"Bubar dong, guys. Ini bukan tontonan." Sandi menghalau puluhan orang di koridor perpustakaan yang makin ramai. Dan pastinya, nggak ada yang peduli.

"Kok bisa gini sih, Yud?" Banyu nggak sampai akal. Apa yang sudah seorang Yuda lakukan sampai bisa mengundang perhatian sebegininya?

"Ada apa ini!"

"Mampus, kan. Gue bilang juga apa," keluh Sandi semasa wanita tambun dan sepatu berhak lima sentinya mengetuk-ketuk lantai dari kejauhan. Hanya dalam sekian sekon, gerombolan yang sempat memenuhi koridor langsung lenyap nggak bersisa. "Siang, Bu Yanti," sapa Sandi, nyengir lebih lebar dari biasanya. Dan mirisnya, justru tampak aneh.

"Ada ribut-ribut apa?" Dari balik kacamatanya, Bu Yanti menyisir tiap-tiap anak yang masih tinggal tanpa lewat satupun. Banyu, Yuda, Chelsea, lalu Yumna. "Ada masalah apa, Yumna?"

Yumna terpekur. Dilihatnya Sandi, dari balik pundak Bu Yanti, berusaha mengirim kode lewat kedipan mata. Sayangnya, Yumna nggak paham apa maksudnya.

"Yumna lagi latihan akting, Bu," kata Sandi. Ngawur dan jelas sekali bukan alasan yang masuk akal.

Bu Yanti menatap Sandi tajam. "Bicara apa kamu ini."

"Betulan, Bu. Karena saking naturalnya, mereka rame-rame nonton karena skill akting Yumna keren banget, mirip pemain sinetron beken." Sandi mengacungkan dua ibu jarinya. "A+ lah pokoknya, Bu. Saya juga sampai ngira dia betulan marah-marah sama Yuda."

Kamu tau perasaan semacam bukan kamu yang berbuat, tapi ikutan malu? Betul. Hampir semua yang dengar jawaban Sandi merasakan fenomena itu.

"Oh, saya baru ingat, Bu." Selagi Sandi mengalihkan perhatian sang guru konseling, tangannya yang singgah di balik punggung mengibas-ngibas menyuruh yang lain pergi. "Tadi Ayah—maksud saya, Pak Noval nitip pesan ke saya buat nyampaikan undangan buat Bu Yanti."

Entah apa yang terjadi selanjutnya. Bagaimana nasib Sandi, nggak ada yang betul-betul tahu karena keempatnya segera hengkang dari area gedung utara.

"Chel!" Yumna kewalahan mengejar langkah kaki Chelsea yang bergerak cepat di depan. Melewati taman kecil di tengah perbatasan gedung teknik dan studio. "Chelsea, tunggu!"

"Kenapa tuh muka lo." Banyu baru sadar ketika keduanya berbelok keluar menuju Sco-Mart dan menyaksikan Yuda menarik keluar sebotol teh dari pendingin.

"Ditampar," jawab Yuda setelah duduk berhadapan dengan Banyu di luar area Sco-Mart.

Bola mata Banyu membesar. "Sama Chelsea?"

"Hm."

Yuda meneguk minumannya dengan tenang. Melihat ada bekas lima jari memerah di pipi sebelah kiri, nggak terbayang sebanyak apa tenaga yang Chelsea bubuhkan di tamparannya.

"Yang bener ajalah. Dia gila?"

"Gue yang mancing," balas Yuda.

"Emang lo ngapain?" tanya Banyu penuh selidik.

"Ngasih tau dia fakta." Banyu menganga, tapi persis sebelum Banyu menyelesaikan kalimat "gitu doang kenapa bisa marah"-nya, Yuda menambahkan, "gue juga ngomong hal nyelekit ke dia."

Stok kosa kata yang Banyu pelajari sejak umur dua tahun seakan raib dari setiap jengkal otaknya. Dia nggak bisa mengucap satu katapun. Masalah ini kenapa mendadak saja jadi pelik, sih?

"Sori, Bay."

"Hah?" Akhirnya, Banyu menemukan kembali suaranya.

"Gue jadiin masalah lo sama Chelsea sebagai tameng. Gue marah-marah sama Chelsea pakai embel-embel masalah lo sama dia, ngatain dia egois karena nggak ngasih tau lo lebih awal, padahal..," Yuda menghela pendek, "aslinya cuma gue yang terlalu takut buat jujur. Udah lama gue pengin ngomong itu ke dia, sampai ketika ada kesempatan, gue justru jadi pengecut."

Banyu lagi-lagi diam.

"Chelsea..," Yuda menengadah, menatap Banyu dan melanjutkan, "Chelsea suka sama lo, Bay."




























"... Dan Yumna tau."

...

nah, jadi...

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang