2.1 × Kolam Penasaran

115 30 16
                                    

Biasanya, rumah di ujung jalan tampak sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biasanya, rumah di ujung jalan tampak sepi. Seorang lansia dan suster yang kadang-kadang pulang kampung sebulan sekali hampir nggak pernah menghasilkan gaduh berarti. Sunyi. Senyap. Selain jangkrik dan tetes konstan dari air mancur kolam punya tetangga, hampir nggak terdengar apa-apa lagi.

Biasanya. Namun, ada yang lain. Malam berubah jauh lebih semarak karena senar gitar dan lantun bait lagu pakai suara seadanya yang memenuhi sekeliling sejak pukul delapan malam.

Padahal, grup cowok harusnya tidur di homestay Omanya Sandi selagi yang perempuan di rumah Oma. Tapi, apa sih yang bisa diharap selain anak cowok yang tiba-tiba datang ramai-ramai setelah makan malam.

Nggak perlu diusut, jelas semuanya ide Sandi. Memangnya mau siapa lagi?

Ditemani pisang goreng dan kopi, suasana waktu itu sudah persis angkringan di gang depan. Riuh.

Formasi bersepuluh pagi tadi hanya menyisakan delapan personel. Yuda dan Chelsea pamit pulang karena urusan yang nggak bisa ditinggal. Nggak tahu apa, nggak ada satupun yang tanya lebih rinci.

Dan tentang Yuda, sesuai prediksi, dia sukses bikin muka asistennya sepucat kertas. Yuda bilangnya baik-baik saja, tapi asisten mana sih yang tetap santai kalau lihat tuan yang seharusnya harus dipastikan dalam keadaan selamat 24/7 mendadak pincang dan penuh gores. Erin pastinya keringat dingin.

"Chelsea tadi pulangnya sama Yuda, ya?" tanya Jena, diangguki Christie.

Satu lagu dari solois terkenal baru saja selesai dibawakan Caraka. Mengundang tepuk tangan dan rikues lagi dari Reka.

"Enak, ya, jadi orang kaya." Sandi menyandarkan kepala ke bahu Haikal, tapi ditoyor supaya enyah.

"Kepala lo kayak beton," ujar Haikal semasa Sandi melayangkan tatapan nggak bersahabat.

"Salut sih liat mereka masih bisa seakrab itu," celetuk Jena lagi. Posisinya duduk agak di tengah, memudahkannya dari pusat perhatian setelah bicara hal seambigu itu.

"Apa maksud?" tanya Sandi, "emang mereka ada masalah sebelumnya?"

Bahu Jena mengedik cuek. "Nggak tau deh bisa dibilang masalah apa bukan."

"Cantik, coba ngomong yang jelas gitu, loh. Muter-muter banget." Siapa yang gregetan? Sandi. Sayangnya, Jena nggak kelihatan mau menjelaskan dengan cepat.

"Tanya Yumna atau Banyu, tuh. Mereka pasti tau."

Perhatian jadi berpindah tertuang penuh pada dua sosok yang dimaksud. Mampus. Banyu saja nggak tahu!

"Mereka dijodohin?"

"Nah, nah!" Tangan Sandi teracung menunjuk-nunjuk Christie, "dia bener. Biasanya anak konglomerat begitu, tuh! Pertunangan dini, asik banget dah nggak perlu lagi mikir jodoh."

"Kebanyakan nonton drama lo, San." Haikal mencomot pisang di piring, "tapi bisa jadi, sih. Kayak siapa itu anak jurusan sebelah yang katanya dijodohin juga."

"Ck, bukan," bantah Jena. "Bukan Chelsea sama Yuda, tapi orang tuanya. Bokapnya Chelsea mau merit sama nyokapnya Yuda."

"HA?"

Semuanya, kecuali Yumna dan Jena, kompak berjengit. Bahkan Caraka mendadak menghentikan petikan gitar. Apa... apa-apaan!

"Yang bener lo!" Sandi mencondongkan tubuh, memicing. "Gosip, ya?"

Jena mendengkus, "Papi dapet undangannya, kok. Kayaknya juga pesta terbuka, koleganya diundang, tuh."

"Jangan-jangan Chelsea sama Yuda nggak ikutan nginep karena orang tuanya mau nikah," kelakar Sandi.

"Emang iya, besok resepsi."

"HA?" Kaget babak kedua.

"Secepet itu?" Christie hampir nggak percaya.

"Berarti nanti Yuda sama Chelsea jadi sodara?" Sandi bergumam.

"Ya masa ibu dan anak." Haikal sengit.

"Aduh, nggak kebayang. Tiba-tiba lo sama temen lo jadi sodara. Apa nggak canggung?"

"Mereka kan temen deket, malah gampang akrab paling," Reka nimbrung.

"Justru malah susah, dong!" Christie nggak mau kalah. "Pasti canggung, gue jamin."

Kalau Banyu pikir ulang, belakangan Chelsea memang sengaja menjaga jarak dari Yuda. Apa karena itu?

"Bener, tuh. Lo deh, Chris, tiba-tiba sodaraan sama gue. Apa yang lo rasain?" Sandi bertanya.

Dan Christie menyahut ala kadarnya, "emang kita temen?"

"WADUH... sakit nggak, tuh." Haikal terbahak puas.

"Ah, Christie. Ternyata cuma gue aja ngerasa kita spesial."

"Yee... semua aja lo gituin, Kadal!"

Tawa terdengar dan lagu kembali didendangkan. Suasana kembali seperti semula. Seolah, nggak ada yang pernah mengungkit tentang perkara itu sebelumnya.

Yah, tentu. Cuma Banyu sebagai satu-satunya yang masih larut dalam kolam penasaran.

"Lo tau?" Dia menengok, menghadang Yumna dengan pertanyaan.

Nggak ada jawaban, dan Banyu tahu apa artinya.













...

hi, selasa!

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang