1.9 × Insiden

126 31 4
                                    

Ada yang asing, tapi terasa dekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang asing, tapi terasa dekat. Nuansa yang hadir mengingatkan Yumna akan suasana rumah simbah di Surakarta.

Meja kecil di sudut ruangan menyangga figura foto keluarga besar dan vas dengan bunga palsu. Kaca transparan lemari cokelat memperlihatkan beberapa lingkup laci berisi piagam, selempang wisuda, pernik aksesoris, dan patung kecil sepasang angsa. Di sisi yang lain, terdapat pintu kayu berwarna senada lemari yang di depannya terjuntai tirai dari kerang berwarna biru tua.

Yumna membawa pandangnya mengedar sekali lagi. Nggak banyak sentuhan modernisasi di sana-sini. Hanya rumah sederhana untuk standar rumah masa tua yang hangat dan nyaman.

"Nu sanes kamarana, Neng?"

Yumna menoleh. Mendapati keberadaan wanita berusia lanjut muncul dari arah dapur sambil membawa piring berisi kue basah. Yumna berdiri, membantu membawakan.

"Di depan, Oma. Nunggu yang cowok."

Tadi pagi-pagi sekali, Yumna dan yang lain datang ke Bogor. Sesuai rencana, mereka bakal menginap setiap malam minggu di kediaman Omanya Sandi selama beberapa ujung pekan. Mungkin empat atau lima, tergantung lancar enggaknya pengambilan film.

"Oh, muhun atuh, ieu pangmawakeun ka payun, nya."

Yumna mengangguk dan suara bising motor tua diikuti sorakan heboh adalah dua hal yang menyambut setelah itu. Dapat dilihat kalau yang lain sedang terpingkal menyoraki Sandi dan motor butut yang entah didapatnya dari mana.

"Itu dipake boncengan juga kaga kuat." Haikal yang paling heboh tertawa, menunjuk-nunjuk motor sambil memegangi perut. "Noh, udah kayak fogging."

"Eh, mau coba, dong!" Reka berdiri dari posisi bersilanya di lantai, menghampiri Sandi.

"Giginya masih masuk, tuh," kata Caraka.

"Enggak, udah nol ini," sangkal Sandi. "Jangan kenceng-kenceng ngegasnya, Re! Motor orang ini."

"Punya siapa?" tanya Christie, cewek berkuncir pita merah.

"Adalah, tetangga."

Yumna mengembuskan napas pendek. Agak jauh dari posisi Reka mengayun pedal gas dan rupa kabut tipis hasil knalpot motor, tampak Yuda sedang mengatakan sesuatu pada asisten pribadinya. Nggak tahu apa, yang pasti ekspresi Yuda kelihatan serius. Lalu Banyu, Jena—sepertinya seluruh anggota kelompok sudah hadir.

Memilih meletakkan kue yang dibawanya ke meja berbentuk lingkar di sebelah Chelsea, Yumna terdiam sejenak. Ah, iya, Chelsea. Kemarin sempat sakit, untung saja lekas membaik. Datang kemari juga karena cewek itu memaksakan diri. Sekarang saja, wajahnya masih pasi.

"Kue, Chel." Yumna menepuk pundak Chelsea pelan. "Dari Oma."

Chelsea mengangguk sekilas, kemudian mengangsurkan kemasan tabir surya. "Katanya tempatnya nanti panas," ujarnya. Yumna mengerti.

"Makasih, ya."

"Yuk, langsung berangkat. Yud, lo pake motor gue aja, boncengan sama siapa gitu, terserah." Sandi memberi komando setelah Yuda menyelesaikan perlu dan bergabung bersama yang lain. "Cukup kan, ya?"

"Mampu motor begituan buat berdua?" Jena meragukan. Nggak salah juga. Memang penampilan motornya pun mengkhawatirkan.

"Waduh, ngeremehin. Sini, lo sama gue kalo gitu."

Sandi sudah mengira semalam suntuk, sampai dibela meminjam motor Mang Dika yang biasa dipakai jualan sayur. Seharusnya nggak akan ada masalah lagi. Berhubung jalan menuju lokasi shooting nggak bisa dilalui mobil, mau nggak mau Sandi mengalah meminjamkan motor ke Yuda.

"Raka, nebeng!" Reka berlari mengambil helm yang digeletakkan di teras dan buru-buru menghampiri motor hitam milik cowok yang dimaksud.

"Chel, ayo." Sandi berdecak. "Bay, bawa si Chelsea itu."

Banyu diam, tapi tatapan matanya berbicara—kok gue?

"Atau lo mau bawa motor sakti ini, biar gue yang boncengin Chelsea?"

"Ogah." Banyu sigap naik ke motor. "Buruan naik, Chel."

Dan begitulah masing-masing orang dapat rekan boncengan. Sandi jalan lebih dulu di depan, dilanjut Caraka, Haikal, Banyu, dan Yuda.

"Jalan depan rusak parah, pegangan kalo gak mau jatoh," aba Banyu. Chelsea menurut. Selang beberapa sekon, Banyu merasakan ada jari-jari yang memegangi sisi pinggang kaus abu-abunya.

Banyu melihat wajah Chelsea dari kaca spion. Datar. Cenderung murung.

"Jangan bengong, Chel. Kata Sandi daerah sini angker."

Banyu mengaduh setelah satu cubitan kesal menghujani pundak. Iseng, sih. Rasakan.

"Jangan aneh-aneh! Gue gigit baru tau," ancam Chelsea.

"Lo juga jangan ngelamun mulu. Gue nggak mau bonceng orang kerasukan."

"Bay, nggak lucu!"

Satu. Dua. Tiga. Nggak terhingga berapa kali Chelsea mendaratkan pukulan ke bahunya Banyu. Kalau nanti memar, wajar saja.

Aksi brutal itu baru berhenti ketika ada suara keras terdengar. Semacam tabrakan. Chelsea cepat-cepat menoleh ke sumber suara di belakang. Matanya membola.

"Bay, berhenti, Bay!" Chelsea panik. "Yumna jatoh!"
















...

special thanks buat my dearest Kiakay_ yang udah bantu ngetranslate dialognya Oma ;> gue tanpa dia cuma tentakel cumi-cumi

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang