'Lelah? Istirahat, tapi jangan nyerah. Nanti kalau istirahatnya selesai, harus bangkit lagi.'
-Sella Adelia-Saat jam istirahat Sella dan Cika pergi kekantin. Saat baru memasuki kantin pandangan Sella tidak sengaja menangkap seseorang yang sama, yang duduk dengannya di bis tadi.
"Sel, duduk situ yok." ajak Cika dan hendak menarik Sella untuk ikut dengannya di meja yang masih kosong.
"Cika, Ikut Aku bentar." Sella menarik tangan Cika untuk ikut dengannya, meski bingung Cika tetap mengikuti Sella.
Sella berjalan kearah meja yang diduduki siswa tersebut dengan kedua temannya. Saat sampai di depan ketiga siswa itu, Sella tak langsung membuka suara. Ia terlihat gugup sendiri saat ketiga siswa itu memperhatikannya. Dengan cepat, Sella meletakkan papan nama tersebut di atas meja.
"A-aku pikir ini punya kamu." setelah berkata demikian, Sella menarik Cika yang kebingungan untuk segera kembali ke tempat mereka semula.
Sedangkan cowok yang diduga bernama Arion Dewantara itu hanya menatap datar kepergiannya. Berbeda dengan kedua temannya yang menatap bingung Sella dari saat ia datang memberi papan nama tersebut, sampai dirinya pergi.
***
Sella pulang menggunakan bis. Saat berada di dalam bis tersebut, ia mencari keberadaan siswa pemilik papan nama tadi, tapi ia tidak menemukan keberadaannya.
Sella berjalan ke arah satu-satunya kursi yang kosong. Ia mendudukkan dirinya di samping siswa yang sepertinya merupakan kaka kelasnya.
Sella tidak berniat membuka percakapan, namun tak di sangka siswa tersebut lebih dulu membuka percakapan di antara mereka.
"Anak Lentera juga? Kelas berapa?" tanyanya kepada Sella.
"Kelas 11 IPA 2, Kak," jawab Sella dan melempar senyumnya.
"Owh, gue Keyvan dari kelas 12 IPS 2." ujar Keyvan sambil meletakkan handphone miliknya di dalam tas.
Lalu ia berdiri saat bis berhenti. Ia memandang Sella yang juga sedang mendongak dan menatapnya.
"Duluan, yah," ujarnya, lalu baru selangkah ia berjalan ia kembali memutar tubuhnya ke arah Sella yang melihatnya dengan bingung.
"Senang bertemu dengan...." Keyvan sengaja menggantungkan ucapannya.
"Sella," sambung Sella.
"Nah, iya. Senang bertemu denganmu, Sella." ujarnya dan tersenyum ke arah Sella. Lalu kemudian ia melanjutkan langkahnya dan turun dari bis.
***
Sella selesai mengganti pakaiannya, ia berjalan keluar kamar dan hendak ingin membersihkan rumah. Tapi saat ia hampir meraih sapu, sebuah tangan mendahuluinya dan mengambil sapu itu.
"Mama aja."
"Eng-enggak, Mah. Sella aja." Sella berusaha meraih sapu dari tangan Amanda.
"Kembali ke kamar!" perintah Amanda tak terbantahkan. Amanda berbalik dan berjalan menjauhi Sella.
"Sella," panggil Nenek Salma dari belakang.
Sella menoleh. "Iya Nek?"
"Ikut Nenek bentar, yah." Nenek Salma menarik tangan Sella untuk mengikutinya.
Nenek Salma membawa Sella ke halaman belakang rumahnya, yang terdapat pohon mangga dengan sebuah kursi kayu panjang di bawahnya. Keduanya pun mendudukkan diri di kursi tersebut.
"Sella ingat, waktu kecil Sella sering banget ke sini. Dan ini tempat favorit Sella di sini." kata Sella dengan semangat.
Pandangannya menyapu halaman belakang tersebut. Sepertinya tidak banyak yang berubah, hanya saja bunga-bunga yang dulunya menghiasi halaman belakang ini sudah tidak ada lagi.
"Sella waktu kecil nakal yah, Nek?" tanya Sella sambil nyengir.
"Iya, Sella nakal banget. Waktu itu Ayah kamu lagi siram bunga. Kamu malah iseng matiin kran nya." ujar Nenek Salma yang mengingat kejadian itu.
"Hehehe, iya. Trus Ayah lihat selang airnya karna air gak keluar. Eh, pas itu Sella malah hidupin keran airnya trus airnya kena muka Ayah. Hehehe, nakal banget yah, Nek?" Sella nyengir sendiri dan menatap Neneknya.
"Kamu gak tau ajah Amanda waktu kecil gimana."
"Gimana Nek? Emangnya waktu kecil Mama gimana? Nakal, iyah? Nakalan mana sama Sella?" tanya Sella beruntun.
"Satu-satu nanyanya, Sella."
"Eh, iya. Hehehe." Sella nyengir tak jelas.
Nenek Salma pun mulai bercerita. Bagaimana nakalnya Amanda waktu kecil. Sella mendengarkan dengan baik, sesekali ia tersenyum saat membayangkan apa yang diceritakan oleh Neneknya.
***
Malamnya, Sella hanya di kamar. Saat dirinya ingin keluar ia melihat Amanda dengan Nenek Salma berbincang dan bercanda gurau, Amanda terlihat manja pada Nenek Salma.
Sella yang melihat itu bahagia, senyumnya mengembang dengan sempurna. Jarang ia melihat Amanda seperti itu, seperti ada yang aneh dengan perasaannya melihat itu, ia seperti ingin keadaan bertahan seperti ini. Saat Amandan bisa tersenyum dan tertawa seperti itu.
Sella memilih untuk kembali memasuki kamarnya dan tidak lupa untuk menutup pintu. Senyumnya masih bertahan, saat ia melangkah mendekati kasurnya ia merasa cairan bening itu mengalir di pipinya.
"Kenapa nangis? Kenapa harus sedih? Seharusnya ikut bahagia kan?" Sella bertanya pada dirinya. Ia mendudukkan diri di atas kasur dengan senyum yang masih mengembang bersamaan dengan airmatanya yang ikut turun.
"Ta-tapi, sakit."
"Sella juga ingin seperti itu sama Mama."
"Apa sesulit itu untuk permintaan kecil, Sella?" Sella bergumam pilu.
Sella mulai merasa sesak, ia memukul-mukul dadanya sendiri. Lagi-lagi ia menangis sendiri, menahan diri untuk tidak bersuara. Lelah? Tentu saja, tapi ia tidak akan selemah itu.
Karena prinsipnya adalah 'Lelah? Istirahat, tapi jangan nyerah. Nanti kalau istirahatnya selesai, harus bangkit lagi.'
Karena bukan cuman fisik, tapi batin kita juga butuh untuk di istirahatkan. Mereka sama-sama lelah, lelah berjuang untuk mengahadapi dunia. Lelah, saat ingin menangis ia harus bersembunyi dan menjauhkan diri dari keramaian.
Bukannya tidak mau berbagi, hanya saja dari sekian manusia yang ditemuinya. Hanya ada beberapa di antara mereka yang benar-benar peduli, yang lainnya? Mereka hanya ingin tau, bukan peduli.
Mereka hanya penasaran dengan kehidupan orang lain, setelah mendapatkan jawaban ia akan pergi. Kembali menjadi orang asing.
***
Mau nyapa aja, hehehe
Gimana kabarnya?Oh iya, cerita ini aku iku sertakan dalam
#30daywritingchallenge
Jadi, mohon doa dan dukungannya yah🙂
Terimakasih💜
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Lonely {TAMAT✔}
Fiksi RemajaNamaku Sella Adelia, remaja yang hidup dengan hantaman demi hantaman setiap harinya. Dipukul telak oleh kenyataan yang seolah berbisik sinis bahwa aku tidaklah pantas untuk bahagia. Aku percaya, setiap orang memiliki luka dan masalahnya sendiri. Nam...