"Eh dengar ya, orang kayak lo nggak guna ada di sini! Mending mati!" Aku mendengar suara Dwi dari kejauhan. Aku segera berlari ke kelas untuk memastikan bahwa apa yang aku dengar tidak benar.
"Lo kok marah? Bukannya lo emang suka sama Vero. Dan lo seenaknya ngomongin gue sama Aska. Lo juga ngarap terlalu jauh tapi lo nggak punya keberanian buat ngomong langsung." Aku masuk ke kelas saat Jessi berbicara di hadapan Dwi. Aku hendak memisahkan mereka tapi aku dihalangi oleh Rieke.
"Kenapa nggak dipisah?" tanyaku.
"Dwi nggak harus diam aja," ucap Rieke yang setuju Dwi ribut dengan Jessi.
"Tapi kita sebentar lagi masuk. Dan Dwi salah karena dia ngelabrak ke kelas Jessi," ucapku dengan tanganku masih di genggam Rieke sangat erat.
"Ibunya nggak masuk, Din. Kita free. Makanya Dwi ngelabrak ke sini." Aku hanya diam saja melihat pertengkaran Jessi dan Dwi.
"Lo sadar diri. Aska udah milik Pelangi. Lo yang bodoh berharap sama dia. Lo yang malu!" Aku tidak bisa diam lagi. Dia membawa hubungaku dengan Aska. Apa hubunganku yang menyebabkan Jessi melakukan semua ini.
Aku melepaskan genggaman Rieke dan berlari ke arah Dwi. "Dwi udah," ucapku sambil menarik tangannya.
"Nggak Pelangi. Dia udah nyebar gosip yang ngomong kalau gue berharap sama Vero." Aku menatap Jessi kesal.
"Kenapa lo? Mau ikut campur lagi?" ucapnya sinis ke arahku.
"Lo bisa diam nggak sih." Dwi menarik rambut Jessi membuatnya meringis kesakitan. "Gue bukan Pelangi yang bisa sabar dengan sikap lo!" bentak Dwi.
"Udah Dwi," ucapku sambil melepaskan tangan Dwi dari rambut Jessi.
Setelah tangan Dwi lepas dari rambut Jessi, Jessi menatap Dwi dengan tatapan yang sangat marah.
"Kurang aja lo!" ucap Jessi hendak menampar Dwi tapi tiba-tiba pipiku terasa panas. Dia sengaja melesetkan tamparannya agar mengenaiku. Air mataku seketika keluar begitu saja, rasanya sangat sakit. Aku memegang pipi kiriku yang pasti sudah memerah. Rieke menghampiriku.
"Pelangi kamu nggak papa?" tanyanya. Aku diam.
"Dasar perempuan ular. Nggak pantas lo hidup!" bentak Rieke ke arah Jessi.
Tiba-tiba kelas menjadi ramai. Dan aku merasakan sebuah tangan mengangkat kepalaku. Aku tidak bisa melawan. Saat aku mengangkat kepalaku. Aku melihat Aska di hadapku. Sial! Aku belum sempat menghapus air mataku. Aska memegang pipi kiriku yang masih kututupi dengn tanganku. Aska menjauhkan tanganku dari pipiku. Aku melihat Aska terkejut. Rahangnya mengeras. Dia meninggalkanku dan menghampiri Jessi yang tidak bisa berkutik.
"Apa lagi sekarang!!" teriak Aska dan aku melihat Jessi sedikit terkejut.
"Gue nggak sengaja. Tangan gue mau nampar Dwi tapi Dwi ngehindar," ucapnya gugup. Aku tidak tahu apa yang diucapkan Jessi benar atau tidak. Karena kau tidak terlalu memperhatikannya tadi.
"Bohong Aska," ucap Dwi. Dwi mendekat ke arah Jessi dan Aska. "Dia sengaja, lo bisa tanya sama yang di sini. Gue nggak sedikitpun mundur atau menghindar." Jessi diam, ia ketakutan.
Vero berlarian masuk ke dalam kelas. Ia menghampiriku dan memeriksa keadaanku. "Pelangi, lo kenapa?" Aku menggeleng dengan mataku yang masih basah. "Pipi lo merah banget," ucapnya.
Vero menyentuh pipku yang memerah. Aku meringis kesakitan. "Maaf," kekehnya. Aku melihat Aska menarik Vero dari hadapanku. Aku terkejut melihat tatapan Aska seperti marah dengan Vero.
"Lo nggak usah deket-deket sama Pelangi. Dia tanggung jawab gue. Lo urusin tuh urusan lo sama Dwi dan Jessi. Gara-gara kalian, Pelangi jadi korbannya," ucap Aska sambil meraih tanganku, kemudian ia genggam.