BAB 4 | Minta Maaf

79 6 0
                                    


Jantungku terus saja berdetak dengan keras. Keringat dingin mulai bercucuran di dahiku dan seluruh badanku. Aku mencoba menahan air mataku yang sedari tadi ingin keluar. Aku melirik jam dari tadi karena tugasku harus dikumpul diakhir perkuliahan. Namun pesanku tidak sedikitpun dibaca ataupun dibalas oleh Aska. Teman-temanku heran melihat tingkahku hari ini.

"Lo kenapa, Pelangi?" tanya Rieke.

"Nggak ada kok," jawabku. Aku tidak mungkin mengatakan kalau tugasku masih dengan Aska dan sekarang Aska tidak menampakkan batang hidungnya.

Aku benar-benar tidak fokus mendengarkan penjelasan dosenku di depan karena aku selalu terpikir dengan tugasku.

Ponselku yang sengaja kuletakkan di atas meja bergetar, akupun segera membuka dan berharap itu balasan dari Aska. Dan itu benar Aska membalas pesanku.

"Gue di dekat toilet!" Pesan dari Aska. Akupun bergegas keluar tanpa membalas pesannya. Aku berlari kecil untuk sampai di toilet, dengan air mata yang sudah tidak tertahankan olehku.

Aku melihat Aska berdiri sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Aku menghampirinya dengan mulut yang siap mengomel.

Saat jarakku dengannya masih sekitar tiga meter, dia melihatku dengan memberikan senyum manisnya. Aku menggeram kesal. Bisa-bisanya dia tersenyum sedangkan aku hampir pingsan dengan keringat dingin di sekujur tubuhku.

"Hai," sapanya dan aku segera memukul dadanya.

"Kenapa?" tanyanya tampak bingung.

Dia menunduk karena dia memang lebih tinggi dariku, aku hanya sebatas dadanya saja.

"Pelangi, lo nangis." Dia memegang bahuku dengan kedua tangannya.

"Dasar jahat! Bisa-bisanya lo buat gue cemas kayak gini. Gue udah tahu kalau bakal kayak gini. Nggak mungkin lo tiba-tiba baik sama gue. Lo udah rencanakan ini kan, biar gue cemas dan nggak fokus sama kuliah hari ini. Terus lo juga sengaja kan, nggak baca pesan gue. Lo emang nggak punya hati! Belum puas lo buat gue jalan kaki malam-malam! Gue kira kita bisa jadi teman tapi gue salah!! Lo cuma orang jahat yang mau nyiksa gue. Kenapa? Karena lo orang kaya dan gue nggak," ucapku dengan air mata yang sudah jatuh di pipiku. Aku sangat emosi. Baginya mungkin tugas bukan hal yang serius tapi bagiku itu adalah masa depanku. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah hanya karena nilai tugasku kosong. Aku sangat tidak suka dipermainkan seperti ini.

Tiba-tiba dia memelukku dan aku meronta-ronta dalam pelukannya.

"Gue nggak maksud kayak gitu, Pelangi." Dia melepaskan pelukanku dan menatap mataku. Sekarang mata kami bertemu.

"Tadi gue udah hubungi Vero, katanya tugas dikumpul akhir perkuliahan, jadi gue baru sekarang ngasih tugasnya sama lo. Gue nggak maksud bikin lo cemas. Gue cuma mau bantuin lo kok." Aku terdiam dan sekarang aku tidak lagi menatap matanya melainkan mengalihkan pandanganku ke sebelah kiri.

"Pelangi?" Aku menatapnya kembali dengan tatapan kebencian.

"Nggak usah panggil nama gue dengan mulut lo. Sekarang mana tugas gue!!" Dia membuka tasnya dan mengeluarkan tugasku.

Aku mengambilnya cepat. "Jauh-jauh sama hidup gue," ucapku sebelum aku meninggalkannya dan masuk ke dalam kelas.

Sesampai di kelas Rieke melihatku membawa tugas. "Dari mana lo, Pelangi?"

"Ambil tugas."

"Oh pantesan lo gelisah banget tadi." Aku terkekeh.

Akupun membuka tugasku dan melihat nomor yang diisikan Aska. Aku tersenyum karena tulisannya sangat rapi, tidak asal-asalan seperti yang kuduga.

Aska PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang