BAB 15 | Mengalah

10 2 0
                                    


Aku melirik jam di nakasku. Ah sudah pukul 09 pagi. Sungguh tidak pantas aku disebut seorang anak perempuan. Malam tadi aku tidur jam dua malam karena setelah pulang bekerja aku bercerita panjang lebar dengan Aska di telepon. Aku keluar dari kamar sambil mengucir rambutku asal. Aku melihat Bunda sedang membereskan piring-piring. Aku menghampiri Bunda yang sedang mencuci piring.

"Bunda," sapaku sambil tersenyum.

"Udah bangun kebo rumah ini," sindir bunda.

Aku tertawa. "Mumpung libur bunda," kekehku.

Aku berjalan mendekati meja makan. Di sana sudah tidak ada makanan untukku makan pagi ini. "Bunda, nggak ada sisa makanan untukku?" tanyaku.

"Hmm udah habis. Kalau mau masak sendiri," jawab Bunda.

"Ya udah deh." Aku bergerak malas untuk membuka kulkas, mencari bahan masakan yang akan aku masak hari ini.

Ponselku tiba-tiba berbunyi, untungnya aku menyimpannya di saku celana pendekku. Aku membuka pesan dari Aska. Dengan senyuman yang manis, aku berharap itu adalah pesan yang membuat aku terbang hari ini.

[Cepatan ke rumah sakit. Aku cuma sama Jessi di sini.]

Mataku terbuka lebar. Aku tidak percaya Aska hanya berdua di rumah sakit. Berbagai macam pertanyaan timbul di kepalaku.

Aku menutup pintu kulkas. "Bunda, temen aku masuk rumah sakit. Aku makan di rumah sakit ya," ucapku, kemudian aku berlari ke kamar untuk siap-siap. Aku tidak mendengar larangan dari Bunda. Aku harap Bunda mengizinkanku untuk pergi hari ini.

Aku mengambil bajuku kemudian berdandan sewajarnya tapi tetap cantik terlihat. Aku menganbil tas dan kunci motorku.

Aku hampir lupa meminta izin pada Bunda. Aku mencari Bunda, yang ternyata ada di halaman belakang sedang menanam bunga baru.

"Bunda, aku pergi dulu ya," pamitku.

"Pulangnya jam berapa?" Tanya bunda.

"Hmm aku langsung kerja, Bun."

"Ya udah, hati-hati."

"Iya, Bun." Aku langsung bergegas membawa motorku untuk segera sampai ke rumah sakit. Sebelum mandi tadi aku sengaja memberitahu Rieke agar dia bisa menolongku jika aku kesusahan nanti.

Aku tiba di rumah sakit. Aku memarkirkan motorku. Aku berjalan cepat tanpa memerhatikan sekelilingku. Rieke berlarian dari jauh dan berteriak namaku. Aku menoleh.

"Buruan," ucapku.

"Lo budeg banget sih. Dari tadi gue teriak," ucap Rieke kesal.

"Sorry, gue nggak bisa dengar lo tadi. Pikiran gue udah ke mana-mana."

Rieke menarik tanganku. "Ayo buruan, nanti pacar lo diambil Jessi sialan itu." Aku terkekeh. Kekhawatiranku sama dengan Rieke.

Setiba di ruangan. Aku melepaskan tangan Rieke. Aku berjalan lebih cepat dan membuka pintu ruangan Jessi sedikit keras.

"Pelangi," ucap Aska terkejut tapi terdengar kelegaan dari suaranya. Aku melihat Aska baru saja memainkan gamenya. Aku lega. Aku yakin, Aska mengabaikan Jessi karena Aska melampiaskan rasa bosannya dengan bermain game.

Aku mendekati Aska. "Sayaaang," ucapku lebay. Aku sangat jijik mendengar suaraku sendiri. Aku sengaja agar Jessi tahu punya siapa Aska sekarang. Aska tengah duduk di samping tempat tidur Jessi. Aku merangkul pundak Aska yang tengah duduk. "Aska aku lapar," rengekku.

Aska menatapku sambil tersenyum. "Kamu lapar, Sayang?" tanyanya. Aku mendengar kalau Aska sengaja menekan kata sayang. Aku ingin tertawa rasanya.

Aku mengangguk. "Aku lupa makan tadi," rajukku.

Aska PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang