BAB 18 | Pelaku Penyerangan

19 2 0
                                    


Aku dan Aska memasuki perpustakaan. Dan Aska selalu menggenggam tanganku. Menyebalkan. Moodku jadi rusak kali ini. Pengunjung perpustakaan belum terlalu banyak. Aku melihat teman belajarku sedang asyik berdiskusi. Tapi kali ini aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Aku tersadar bahwa Aska mengarahkan aku untuk menghampiri mereka.

"Aska kita mau ke mana? Kita duduk di sana aja." Tunjukku ke arah berlawan dengan mereka.

"Ke teman kamu dong," ucapnya.

"Maksud kamu apa?" tanyaku. Dia diam saja tapi tetap menarik tanganku ke meja mereka.

"Hai, sorry kami ganggu. Boleh duduk di sini?" tanya Aska sambil melirik tajam ke arah Vero.

"Duduk aja lagi. Kita emang lagi nunggu Pelangi," ucap Lina. Aku tersenyum kecut ke arah mereka. Aku sedikit tidak enak karena ada Aska diantara kami. Aku tahu dia pacarku tapi untuk urusan belajar dengan tim belajarku, aku harap Aska tidak menganggu. Tapi semua sia-sia, Aska mengganggu timku kali ini.

"Kalian lagi diskusi apa?" tanyaku ke Lina

"Lagi...."

"Bukan diskusi apa-apa," potong Vero. Aku melirik ke arah Vero. Mungkin dia marah padaku sehingga nada bicaranya sedikit berbeda.

"Lo baca apa, Ver?" tanyaku agar nada bicaranya sedikit melunak padaku.

"Sayang kita ke sana!" potong Aska. Aska menarikku ke jejeran buku ekonomi berada. Aku mulai kesal padanya.

Aska sedang mencari buku. Aku tidak tahu dia memang mencari buku atau pura-pura serius mencari buku.

"Apa maksud semua ini Aska?" tanyaku datar.

"Apa sih, Sayang. Aku lagi fokus nyari buku," ucapnya mengalihkan.

"Aska aku serius!" bentakku.

Dia menatapku. "Apa, Sayang. Kita ke sini mau belajar kan. Jangan ngajak aku berdebat dengan hubungan cinta kita," ucapnya jahil sambil mencubit pipiku.

"Oke sekarang kamu baca itu." Aska menyerahkan buku di hadapanku saat kami sudah berada di meja yang cukup jauh dengan tim belajarku.

"Buku apaan ini?" tanyaku sambil membuka-buka buku yang diberikan Aska. Aku sangat malas belajar hari ini. Hatiku sudah cukup kesal melihat Aska yang pura-pura tidak tahu, dan Vero yang berbicara dengan suara yang sinis.

"Ekonomi lah. Belajar aja, itu penting untuk kamu. Background penulisnya juga bagus. Buku itu bagus untuk kamu baca," perintahnya.

"Iya nanti aku pinjam aja. Belajar di rumah," tolakku sambil nenutup buku itu.

"Pelangi, baca nggak," ucapnya.

"Aku capek Aska. Aku nggak mood baca sekarang." Aku menjadikan buku yang di berikan Aska tadi sebagai bantal untukku tidur.

"Kenapa kamu pemalas banget sih!" tegurnya.

"Besok aku janji bakal rajin. Sekarang mau tidur," ucapku tanpa melihatnya.

"Pelangi," panggilnya penuh penekanan.

"Aduh, perut aku sakit," bohongku. Aku memegang perutku dan pura-pura sakit. Aska panik, aku melihatnya. Dia beranjak dari depanku dan sekarang ia berada di sebelahku. Dia memegang bahuku.

"Kenapa? Sakit?" tanyaku.

"Nggak tahu," ucapku sambil menangis. Itu hanya air mata palsu. Aku sengaja mengucapkan matra khasku untuk bisa menangis dan aku juga mengingat-ingat drama yang sedih supaya bisa mengeluarkan air mata.

Aska PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang