Mansion Aruna yang beberapa jam lalu sempat heboh, kini lebih sepi. Terik matahari menyilaukan mata bila dipandang mata telanjang. Cuaca siang ini sungguh cerah, berkebalikan dengan air muka si sulung dan si tengah yang redup. Tenggorokan Oka dan Juna sudah segersang padang tandus. Mereka menatap jengah punggung yang membelakangi mereka itu. Sejak bangun dari lelapnya, sepertinya penjelasan apapun enggan diterima.
Oka sibuk berbicara dengan ponselnya. Berkali-kali melirik jam tangannya sebab ada setumpuk pekerjaan di kantor yang tentu memiliki target penyelesaian.
"Ka, ini Papi mau bicara." Oka berkali-kali membujuk Arka untuk menerima panggilannya.
"Sana bicara aja sama pesawat pribadinya!" satu kalimat sarkas Arka lontarkan sambil menarik selimutnya sampai kepalanya terbenam.
Juna mengembuskan napas kasar, "Udah dijelasin juga dari tadi, kan mereka udah biasa pake pesawat pribadi, terus siapa yang bakal ngira lo nggak tau?"
"..., Dek, sehat-sehat ya. Maaf kami nggak sempat pamit tadi ada hal mendesak. Kalau gitu, Papi tutup dulu ya? Hubungi Papi atau Mami kalau Arka udah mau bicara. Assalamu'alaikum."
Sambungan berakhir, namun diamnya Arka belum berakhir. Hanya bergumam sedikit guna membalas salam Aruna.
"Hei semprul. Tadi aja lo tangisin sampe kambuh bikin heboh dunia, sekalinya ditelfon malah sok sok nggak mau bicara," tutur Juna sambil membuka selimut itu.
Juna tertegun. Hatinya bergetar saat melihat lelehan air mata adiknya tumpah. Oka yang menyadari adiknya menangis segera mendekati ranjangnya.
"Hei, Papi sama Mami baik-baik aja."
Tangan Arka yang terbebas dari infus terangkat untuk menutupi sebagian wajahnya sambil mengusap air matanya pelan. Juna terenyuh dibuatnya, sampai tak bisa mengeluarkan kalimat penenang.
"Cengeng ya brandal cilik," entah mengapa kalimat tersebut yang keluar dari mulut Juna.
Menyadari sesuatu, Juna meraih ponselnya.
"Mau ngapa lo?" sergap Arka, masih sesenggukan.
"Momen kayak gini harus diabadikan. Lumayan buat jadiin lo babu gue di masa depan," jawab Juna sambil menekan tombol bulat itu.
"Gue punya aib lo lebih banyak, Bang."
Juna menghentikan aktivitasnya menjepret Arka. Tidak dapat disanggah bahwa Arka memiliki segala cara untuk membuatnya menjadi manusia penurut. Wajah saat tidur melongo penuh liur tidak seberapa, bahkan ada yang lebih memalukan. Arka memang sering menerobos kamarnya dalam waktu yang tak dapat ia duga.
Tidak terasa, lelehan air mata Arka telah berhenti. Bukannya senang, Oka semakin khawatir melihat tatapan mata kosong milik Arka. Wajah pias itu tak berekspresi, melamun menatap langit-langit.
"Mau telfon Mami?" tawar Oka yang dibalas gelengan.
"Jangan ngelamun, ada setan mampir baru tau rasa lo."
Bukannya Juna mengharapkan Arka kerasukan. Ia hanya berniat menghibur. Dengan caranya.
Tiba-tiba Arka terkekeh, "sebegitu takutnya gue kehilangan mereka. Apa mereka juga gitu?"
"Gue rasa enggak, mereka selalu pergi padahal gue juga bisa ilang sewaktu-waktu," sambung Arka.
Baru saja Oka hendak menyanggah pernyataan Arka, namun Arka sudah memejamkan mata terlebih dahulu. Entah ingin tidur atau memang sedang tak mau dibantah. Oka memang tak setuju, ada rasa tak selaras dengan hatinya saat Arka berkata demikian. Baik tentang orang tuanya yang tak peduli, atau pun persoalan waktu yang bisa hilang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...