"... Papi tutup. Assalamu'alaikum."
Aruna menghela napas berat setelah sambungan teleponnya berakhir. Pekerjaan di Texas masih belum beres barang setengah pun. Ditambah persoalan lainnya yang harus dipikirkan juga.
Seakan peka dengan suasana hati putranya, sang tuan besar Sri Nusantara pun menghampiri. Sempat mendengar percakapan di telpon tadi sebab memang dalam mode loudspeaker. Tipikal ponsel orang tua, pencahayaan penuh, volume maksimal, mode dering plus getaran.
"Asoka ada betulnya juga, Run. Apapun yang mau kamu lakukan, jangan pernah hambat kemampuan anak-anakmu."
Aruna menerbitkan senyum khasnya, "Arun juga nggak ada rencana mau menghambat. Kita lihat aja, Dad. Biarkan ku didik mereka dengan caraku."
Sri Nusantara kemudian menepuk dua kali pundak Aruna, "terserah."
"Ah, iya. Besok Daddy ingin ketemu Arka. Awas kamu larang-larang. Mau mampir juga ke cafetaria Zero O'Clock. Awas kalau tiba-tiba tutup."
Terkejut, Aruna spontan menoleh dan terhanyut dalam kornea yang sudah tampak lingkaran keabu-abuan di pinggirannya itu. Kemudian mengangguk setelah mengerti perkataan ayahnya barusan.
Mata seorang Sri Nusantara seolah tersebar di penjuru dunia. Tak bisa dipungkiri. Aruna pun tak jarang sulit menebak jalan pikiran ayahnya. Yang pasti apapun yang dilakukan garis besarnya yaitu demi keuntungan bersama.
☘☘☘
Bel baru saja berbunyi tanda istirahat pertama berakhir. Ruang UKS tengah dihuni tiga ekor manusia, salah satunya Arka. Sudah ia duga bahwa ia akan berakhir di ruangan yang mirip bangsal rumah sakit itu.
Setelah bangun tidur tadi bukannya malah segar, namun badannya sudah seperti tak bertulang. Untungnya Oka berangkat lebih pagi tadi, hingga Arka bisa meloloskan diri ke sekolah. Juna? Jangan ditanya, ia terlelap nyaman di kasur bersih Arka. Sempat ditegur oleh Bibi Juwi dan Pak Sabar, sopirnya, saat melihat gerak-gerik lemasnya. Padahal ia tak terlalu rajin rajin amat sekolah, namun di rumah terasa suntuk dan sepi.
Sejak jam pelajaran pertama ia memang langsung diboyong teman-temannya ke UKS. Alibinya ingin tidur, namun tampang pucat berpeluhnya tidak mampu membohongi mata sahabatnya. Kini Arka ditemani dua sohibnya, Wicak dan Vernon. Sebenarnya ia kurang betah berbaring di salah satu ranjang UKS, tak lupa masker oksigen yang tiba-tiba sudah terpasang setelah bangun dari tidurnya semakin membuatnya risih.
"Eh, eh, jangan dilepas dulu, Ka!" ujar Vernon saat melihat Arka hendak melepas masker oksigennya.
Vernon mendengus kesal setelah benda itu benar-benar terlepas dari tempatnya. Arka menghirup udara dalam-dalam, menikmati udara bebas di luar tabung itu.
"Lah, molor dia?" tanya Arka saat menangkap Wicak yang sepertinya sudah nyenyak.
"Tujuannya kesini kan emang numpang tidur dia. Btw, lo bener udah nggak perlu oksigen lagi?"
"Hm. Kalian bilang ke abang-abang gue?" tanya Arka penuh selidik.
"Belum, sih. Mau ditelponin?"
"Heh, jangan!" sentak Arka spontan.
Sejenak Vernon terkejut, Wicak pun ikut menjenggirat dan mulai mengumpulkan nyawa. Bisa-bisanya bocah itu seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal melihat dia terkulai pagi tadi membuat semuanya khawatir setengah mati. Begitu bangun malah seenak jidat bentak-bentak orang.
Arka mendudukkan tubuhnya dan merapikan seragamnya yang sudah terobrak-abrik sampai beningnya kulit si bungsu Nusantara terekspos. Menautkan satu per satu kancing seragamnya yang sepertinya dibuka oleh dokter sekolah. Dugaannya di sela-sela ia tidur ada yang tak beres dengan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...