Kepulan asap rokok mewarnai gelapnya malam. Waktu lewat tengah malam mungkin jadi waktu emas bagi segelintir manusia. Kursi di lantai dua cafe nyaris penuh. Tulisan smoking area seperti magnet yang menarik bagi perokok sadar diri. Belum lagi bar yang dibuat khusus untuk pengunjung 00:00 sampai dengan 03:00. Sebuah daya tarik tersendiri.
Juna menamainya Zero O'Clock sejak tahun pertama ia berstatus mahasiswa.
Tengah malam dinilai waktu yang tepat untuk tidur lelap bagi anak di bawah umur, namun waktu yang tepat pula untuk 'istirahat' bagi warga negara yang telah mengantongi KTP. Bersama Omar, Juna membangun tempat itu dengan segala kenekatannya. Bar yang tidak masuk ke dalam daftar menu menjadi faktor pembedanya. Promosi dari mulut ke mulut oleh beberapa orang cukup mampu membuat lantai dua cafe hampir tak pernah kosong setiap lewat tengah malam.
Tidak tahu saja bahwa kemungkinan beberapa tempat terancam gulung tikar sebab eksistensi cafe Juna semakin naik. Padahal pesaingnya adalah lumbung pekerja malam yang lumayan berbahaya.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Juna menyambangi cafenya sampai waktu lewat tengah malam.
"Bang Jun, meja 10 minta ketemu sama lo tuh," ujar seorang waiter yang tampak akrab.
"Lantai 2?" tanya Juna malas.
"Ho'oh. Kenapa, Bang?"
Juna mengembuskan napas kasar, "males urusan sama orang mabok, Bram."
Meski sambil menggerutu, Juna tetap melangkahkan kakinya menuju lantai dua meninggalkan kukis coklat dan laptopnya. Ia tidak terlalu suka di lantai dua.
Meja nomor sepuluh berada di ujung, Juna harus melewati beberapa manusia tongkrongan yang mayoritas telah terpengaruh alkohol. Bau khas setiap minuman yang Juna tak mengerti pun tercium.
Kakinya mendadak kaku ketika penunggu meja nomor sepuluh bertatapan dengannya. Bukan lelaki berotot ataupun pemabuk yang hendak protes rupanya, melainkan seorang pria lansia dengan segelas minuman berwarna coklat kemerahan di tangannya.
"Opa?"
Pria lansia itu Sri Nusantara.
"Duduk sini, Jun."
Juna kemudian duduk di kursi seberang setelah mencium tangan dan memeluk rindu kakeknya itu.
"Opa jangan sering-sering minum alkohol, dong."
Setelah menenggak sampai hampir setengah gelas, Sri Nusantara meringis getir.
"Barley beer? Not too much alcohol, kan. Lumayan juga di tempatmu, Jun. Berapa lama ini?"
"Juna nggak begitu paham. Bar yang kelola manajer cafe, Opa," jawab Juna sekenanya, "Opa sampai Jakarta kapan? Kok nggak kabar-kabar dulu? Kan bisa Juna jemput."
"Barusan. Sekali-kali mau surprise boleh kan?"
Juna mengusap tengkuknya canggung, "Papi nggak ikut pulang sama Opa?"
"Belum beres di sana."
"Calon cafe yang Bandung nasibnya gimana?""Oh, Opa tau ya? Em, ditunda dulu openingnya. Mau clearin urusan sama tuan rumah di sana."
"Oiya, Opa nggak mau istirahat dulu? Udah kelewat malem nih, pasti capek ya penerbangan malem. Juna anter ke mansion, gimana Opa?"Selalu berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
"Hm, Opa bawa supir."
Sri Nusantara menenggak habis bir di tangannya. Seperti minum air putih saja, pikir Juna. Kakeknya memang peminum ulung, sudah menjadi rahasia umum. Setelah birnya kandas, ia bangkit dari kursinya. Berjalan santai menuju tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...