[24] Antara Independensi dan Pemenuhan Ego Sendiri

1.1K 140 38
                                    

Seluruh manusia di mansion menyambut pagi hari ini, mau tak mau. Para pekerja mulai saling menerima suntikan semangat demi memenuhi motto 'tidak akan ada mendung yang menggelayuti hari cerahmu'.

Sudah hampir mendekati jam sarapan, ruang makan telah tertata rapih dan tuan kursi mulai berdatangan.

Sebetulnya sarapan bersama di mansion tidak selalu berjalan seperti ini. Entah karena Oka yang harus berangkat lebih awal, Juna yang biasanya masih betah bersarang di pulau kapuk, atau pun Arka yang sering minta diantarkan saja ke kamar sembari bersiap sekolah. Toh orang tua sering tidak ada juga bukan? Ketika Om Joan hadir saja mereka pencitraan.

Akhirnya dapat juga momen kompak Oka, Arka, Juna. Apalagi kalau bukan saling menutupi cela demi kebaikan bersama.

Betul-betul 'tiada tempat mengadu' yang bermanfaat.

Kali ini berkat Sri Nusantara dan sang istri yang memang akan tinggal sedikit lebih lama di mansion, mau tak mau setiap sarapan, makan siang, dan makan malam semua anggota keluarga tidak boleh absen dari meja makan. Meski hanya setor muka.

Makanan sudah mulai disajikan, namun personil masih saja belum lengkap. Pasalnya si yang paling tua tidak akan menyentuh sendok kecuali semua keluarga sudah lengkap. Yang membuat Juna selalu geleng-geleng kepala sembari membatin 'mau makan aja banyak sarat'.

Oka dan Arka-lah yang belum terlihat batangnya.

Eh,

Maksudnya batang hidung.

Joan? Entahlah belum ada kabar terkini.

"Jun, bangunin kakakmu sana," bisik Hayu disusul hela napas Juna.

"No, biar dipanggilkan bibi aja," titah sang kakek menyelamatkan jiwa kemageran Juna. Tak menunggu lama, Hayu segera meminta salah satu pelayan untuk memanggil Oka.

"Arka nggak sekalian Mi?" tanya Juna sembari menegak air putih.

"Biar istirahat dulu dia, semalam tidurnya larut," lagi-lagi Sri Nusantara buka suara.

Aruna dan Hayu sontak saling melempar tatapan mata sembari mengernyitkan dahi tanda bertanya-tanya. Salah satu mengangkat bahu tanda tak tau, satunya pun mengangguk tanda paham. Sudah seperempat abad bersama, bahasa tubuh bukan hal yang sulit bagi mereka.

Tidak lama, Oka mulai mendekat ke arah kerumunan manusia kelaparan itu.

"Semalam ngelembur apa, Asoka?" tanya sang kakek sambil mulai menyentuh sendok makannya.

"Hahaha, you know lah, Opa," tawa Oka menanggapi candaan kakeknya, menyadari ada yang kurang lengkap di kursi, "Arka?" tanyanya kepada Hayu.

"Nanti Mami anter aja makannya," jawab Hayu tenang.

"Kenapa? Dia nggak papa kan, Mi? Jadinya begadang ya semalem?" tanya Oka beruntun. Juna sedikit menoleh dan terkekeh kecil saat menyadari kakaknya yang irit bicara itu tiba-tiba cerewet mirip Arka di depan sang ibu.

"Kamu tau Arka begadang, Kak?" respon Hayu balik bertanya ketika mendengar hal yang sama dengan Sri Nusantara keluar dari mulut Oka.

Ingatan Oka berputar ketika semalam dirinya sedikit mengistirahatkan matanya setelah berjam-jam menatap layar laptop. Tiada angin tiada hujan, satu manusia tiba-tiba memasuki kamarnya. Terlalu lelah untuk sekadar membuka mata dan menanggapi pelaku, ia teruskan saja 'tidurnya'.

Sadar jika itu Arka ketika adik bungsunya itu terbahak pelan. Niat hati ingin memarahi dan mengusir dari kandangnya, namun tak sampai terlaksana, hati kerasnya sedikit tersentuh dengan aksi Arka.

Tentu saja sangat malu dan canggung bukan, kalau tiba-tiba Oka membuka mata? Belum lagi jika Juna melihat. Bisa-bisa malah jadi bahan ejekan untuk keduanya hingga tua kelak.

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang