[18] Harga Diri

1.3K 163 20
                                    

Suasana pagi kali ini terlalu canggung untuk Joan. Semua berada di tempat, namun seolah hanya Joan yang bernyawa. Mungkin kalau dirinya tidak datang, tiga bersaudara itu enggan makan bersama. Tadi saja sangat sulit mengajak Arka bergabung setelah memastikan keponakan bungsunya itu baik-baik saja. Ia paham jika Oka dan Arka baru saja bertikai, meski tak mengerti apa yang diributkan. Yang jadi tanda tanya paling besar di kepala Joan yaitu penampakan tak bersemangat Juna. Sangat tidak lazim.

Juna seperti tidak memiliki selera untuk menyantap hidangan lezat buatan Bi Juwi dan kawan-kawan. Semua tau jika Juna adalah pecinta wanita, eh bukan, maksudnya makanan. Dalam keadaan apapun makan selalu jadi prioritas, tak heran jika ia yang paling jarang jatuh sakit. Namun begitu janggalnya Juna yang hanya memencet-mencet pertengahan ravioli menggunakan garpunya, mengeluarkan daging cincang berbumbu di dalamnya satu per satu. Joan jadi ikutan tak berselera.

"Jun, lagi galau ya?" tanya Joan berusaha memecahkan bongkahan es tak kasat mata di meja makan.

Semua pasang mata terfokus ke arah Juna, sedangkan Juna menatap balik dengan canggungnya. "Yaa, biasa anak muda, Om. Om mana paham."

"Maksud kamu Om tua?"

"Ya emangnya enggak?" Juna balik tanya.

"33 itu belum masuk kategori tua lho kalo kamu tau," ujar Joan membela diri.

"Loh om bukannya tahun ini 35?" tanya Arka dengan wajah tanpa dosa.

"Enak aja. 34!" sanggah Joan tak terima.

"Ya kan cuma beda tipis."

"Tadi ngakunya 33," sambung Arka mencibir pelan.

"Ati-ati lho om, tanda-tanda pikun," tambah Juna bernada menakut-nakuti.

Oke, kini Joan agak menyesal telah berusaha mencairkan suasana. Padahal kan membicarakan umur bagi sebagian orang adalah topik sensitif. Lagi pula ia tidak menghabiskan waktunya untuk berleha-leha, melainkan menempuh pendidikan dokternya sampai spesialis dan merintis karir kedokterannya meski tak benar-benar dari bawah. Ia harus memantaskan diri sebelum meminang kekasih yang telah bersama sejak tahun pertama berkuliah.

"Lagian Om sih udah tua nggak nikah-nikah," ujar Juna mulai melahap deconstructed ravioli miliknya.

"Heh, apa hubungannya!" Joan selalu bertanya-tanya kepada semua orang yang mengaitkan pertambahan usia dengan jaminan keberhasilan menjalin pernikahan. Lagi pula kalimat Juna barusan tak ada hubungannya dengan percakapan sebelumnya kan, pikir Joan. Otak keponakannya memang terlalu acak.

"Kasian Dokter Gina, keburu pacarnya pikun gegara ketuaan. Bayangin aja setiap anniv dia rayain sendiri sambil minum wine di sudut restoran kapal pesiar sama kursi kosong, sementara pacarnya di rumah lupa diri," ujar Arka berangan-angan sambil menahan tawanya.

"Kenapa lupa diri?" sahut Joan panik sendiri. Kombinasi Juna dan Arka terlalu kuat untuknya yang hanya sebatang kara, "Oka, tolong dong adik-adiknya dikasih edukasi," ujar Joan meminta bantuan.

Semua diam menunggu jawaban Oka. Oka meneguk air putihnya sampai kandas dan terlihat berpikir sebelum berbicara. Oh ayolah, Oka selalu menjadi satu-satunya orang yang paling logis dan anti kompromi. Sangat diperlukan untuk senjata bagi sang paman.

"Susah disangkal kalo emang fakta, Om."

1

2

"Pfffft!"

Gelak tawa memenuhi ruang makan.

Ehm, setidaknya Joan berhasil mengembalikan suasana seperti biasanya. Meskipun merelakan harga diri yang selalu ia jaga.

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang