Menjelang subuh Arka belum juga jenak tidurnya. Dadanya terasa berat jika tidur telentang, kepalanya pening jika tidur setengah duduk. Jadi serba salah padahal ia bukan Raisa. Masih mencari posisi yang pas semalaman sampai hari menjelang pagi.
Apalagi beberapa jam lalu Arka mendengar keributan di bawah. Heningnya malam memang membuat suara mudah terdengar meski berjarak satu lantai. Ia yakin itu suara Oka dan Juna. Tebakannya Oka memarahi Juna sebab kakak keduanya itu pulang lewat tengah malam.
Tapi suara keduanya semakin lama semakin tinggi saja, Arka yang memiliki jiwa kepo tingkat tinggi pun bergegas mengintip. Pilar besar dekat tangga itu mampu menutupi seluruh tubuh Arka. Matanya terbelalak saat melihat Oka melayangkan satu tamparan keras yang tidak tanggung-tanggung.
Setahunya, Oka bukan orang yang ringan tangan. Apalagi kepada keluarganya sendiri. Kemungkinan perkataan Juna yang menyulut emosi Oka. Mulut Juna memang sering tak bisa dikontrol. Memang sang sulung dikenal kelewat tempramen, namun baru kali ini Arka menyaksikan Oka bermain tangan.
Buru-buru Arka undur diri sebelum Oka yang mulai menaiki anak tangga menemukannya.
Brak!
Masih teringat jelas suara bantingan pintu kamar Oka terdengar nyaring di telinga Arka. Suara keras itu seperti memberi impuls pada jantungnya. Gelanyar nyeri itu terasa meski tak terlalu menyakitkan.
Menyesal Arka tadi mengintip, ia jadi kepikiran. Sebenarnya sudah mewanti-wanti dirinya sendiri untuk tak terlalu memikirkan, namun otaknya seperti otomatis memutar ingatan beberapa waktu lalu.
Segera setelah adzan subuh berkumandang, Arka menunaikan ibadah wajib subuh. Berusaha mengabaikan rasa tak nyaman di dada juga kepalanya sepanjang gerakan sholat. Berharap kali ini bisa hilang dengan sendirinya tanpa harus dibantu obat-obatan. Mengingat malasnya ia ketika mengetahui bertambahnya jumlah benda kimia yang harus ia konsumsi.
Hobinya memang menguping, kemarin Arka mendengar sayup-sayup penjelasan Joan. Ia harus terbiasa dengan semua hal yang dengan cepatnya berubah semudah membalikkan tangan. Bukan harus terbiasa lagi, melainkan harus memaklumi.
Arka merebahkan tubuhnya kembali ke pulau kapuk kesayangannya. Rasa tak nyaman tadi berangsur mereda meski belum pergi seutuhnya.
Kenapa baru sekarang?
Kantuk mulai menguasainya. Doakan saja tidak terlambat bangun hingga waktu sekolah tertabrak. Ia memang bukan gila tidur macam Juna, namun semalaman hanya setengah tidur sepertinya akan berimbas pada bertambahnya jam tidur dadakan.
☘️☘️☘️
Pagi ini Juna bangun lebih awal meski tidurnya tak lebih dari dua jam. Diraihnya satu map berisi lembaran perjanjian yang semalam ditolak mentah-mentah. Bisnis memang tak mudah padahal ia sudah menggaet manusia andal seperti Omar. Belajar 5 tahun di perguruan tinggi termasuk prestasi, bukan?
Kebas di pipi kirinya mengalihkan perhatiannya. Diusapnya perlahan bekas tangan Oka itu. Meski tak tampak secara fisik, kebasnya masih terasa. Heran saja, biasanya si sulung tidak semengerikan itu sebab Juna sudah terbiasa kena marah. Ultimatum yang dilontarkan pun agak membuatnya terancam padahal sudah seperti makanan sehari-hari baginya.
Dialihkanlah pandangannya ke map di tangannya. Sudah tampak kucel dan sedikit basah di pinggirannya. Basah itu dari alkohol, baunya masih menyengat saja. Familiar di hidungnya, seperti bau-bau di kediaman kakeknya, Sri Nusantara.
Apa kali ini harus dengan bantuan nama keluarganya? Apa kali ini sudah ujung jalannya berdiri sendiri? Haruskah ia katakan alasan sebenarnya semalaman di tempat haram itu kepada Oka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...