[20] Anomali Sudut Pandang

1.2K 148 21
                                    

Teriakan amarah Juna tertahan di pangkal tenggoroknya. Darahnya melonjak naik ketika kotak 'hadiah' yang sama dengan tempo hari hadir kembali menemani toples-toples makanan ringan di mejanya. Tiada ungkapan paling buruk lagi yang bisa ia lontarkan untuk kiriman berkedok ancaman ini.

Langkah kaki tergesa terdengar mandekat ke ruangan Juna dan tak lama pintu terbuka dengan tidak santainya.

Cklek! Brak!

"Kata Bram lo manggil gue? Kenapa lagi, Jun?" tanya Omar sedikit panik sebab Bram sempat memperingatkan bahwa rekannya tengah mengamuk.

Omar mendadak hipotermia ketika Juna balik menatapnya dingin. Tak pernah sekali pun ditunjukkan selama karirnya menjadi teman sekaligus rekan kerja.

"Gue udah pernah bilang kan, jangan pernah masukin barang beginian lagi."

Omar yang mengalihkan fokusnya pada kotak merah yang ditunjuk Juna lantas terbelalak kaget, "tapi bukan gue yang masukin ke sini, Jun. Sumpah. Gue dateng langsung ke atas, belum mampir sini. Lagian nggak tau juga lo bakal ke sini pagi."

"Kunci cadangan lo pegang, kan?" selidik Juna masih belum percaya.

Omar menepuk dahinya mengingat sesuatu, "kunci cadangan pernah dipinjem si Bram, udah sejak lama. Sorry lupa belum gue minta."

"Bawa dia kesini."

Omar bergegas dan tak lama kemudian.

Tok tok

Perawakan kurus tinggi milik Bram muncul perlahan sembari berbisik-bisik dengan Omar, menunduk takut ketika merasakan hawa tak enak di ruangan yang biasanya penuh tawa ini. Hanya berani menempatkan diri di ambang pintu, cukup jauh dengan jarak Juna yang masih berada di sisi mejanya.

"Lo tau kotak itu?" tanya Omar.

"O-Ohh, itu ada di depan pintu tadi pagi. Gue pikir kiriman buat Bang Juna atau lo kan, jadi gue bawaklah ke mari."

"Lo yakin ditaruh depan pintu?" tanya Omar sedikit heran, namun anggukan mantap dari Bram menampakkan kesungguhannya, "lagian dodol banget sih lo, paket kagak jelas gini main masuk-masukin aja."

"Sorry, Bang."

Juna membuka tutup kotak merah dengan kasarnya. Sontak semua menutup hidung. Bau busuk menyeruak indera penciuman mereka.

"Anjir bisa bau banget gitu telurnya!" umpat Bram pelan.

Omar sedikit mengintip isi kotak itu. Benar kata Bram, itu telur, "Isinya sama persis, Jun. Apa artinya cafe ini bakal kayak yang di Bandung?"

Juna mengepal geram sambil menatap Bram dalam, "nggak akan." Bram ditatap demikian pun salah tingkah sendiri. Dia normal, kan?

☘️☘️☘️

Pukul sepuluh sudah lewat sejak belasan menit lalu. Arka baru saja memasuki gerbang sekolah. Tidak sendiri tentunya, bersama Pak Sabar. Ia tidak mau membuat perkara yang berpotensi membatalkan semua jadwal latihannya bersama Melodi.

"Saya di sini sampai selesai, Tuan."

Arka hanya mengangguk samar. Kalimat yang selalu dilontarkan ketika Pak Sabar bersamanya. Tak perlu dibalas sebab nanti Pak Sabar akan membalas perkataannya lagi. Arka sudah hafal betul. Ia melirik ponselnya yang berdering sejak tadi, kemudian bergegas menuju ruang musik.

Sialnya ruang musik milik kelas reguler cukup jauh dari lobi. Ditambah ia juga belum familiar dengan denahnya. Ia sedikit menyesal tidak mengikuti pengenalan lingkungan sekolah kala itu, jadilah hanya tahu bangunan-bangunan utama. Yang ia paling paham adalah gedung kelas spesial dan ruangan Hayu saja.

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang