[25] Blue : Hasil Usaha Memotong Jalan

1K 111 13
                                    

"Pe'ak!" umpat Juna dongkol.

Berbalikan dengan Juna yang rautnya sudah abu-abu merah campur panik dan sebal, Arka justru menyuguhkan senyum dibalik nasker oksigen. Masih kepayahan dengan tarikan napasnya. Masih tertinggal pula air muka kesakitan tanda nyeri itu tak kunjung pergi.

Nyut. Ssssh

Rematan tangan di dada kiri kian mengerat seiring senyumnya luntur. Juna sudah kalang kabut rasanya sambil terus menerus menghubungi Joan.

"Ka! Tarik nafas yang bener, jangan panik ya, tenang. Om Joan bentar lagi," ujar Juna menenangkan Arka yang kian gelisah.

Sayup-sayup Arka coba membuka mata guna mengetes bahwa dirinya masih sadar, meski tampak buram ia menangkap penampakan langka di depannya. Tidak tau kakak keduanya itu berkata apa, yang ia dengar hanya suara serak basah menjengkelkan itu menggema di telinganya.

Arka sedikit merasa bersalah ketika melihat pipi kakaknya basah kuyup, tak lupa bawah hidung yang diduga ingus itu bercucuran. Ingin tertawa dan mengambil ponsel untuk mengabadikan wajah aib kakaknya, tapi untuk napas saja ia sudah tak kuasa. Rasanya menyakitkan setiap kali menghirup oksigen itu.

Pandangannya kian memburam tapi sakitnya belum juga reda. Seluruh tubuhnya kini tak ada daya lagi. Masih ingin melihat wajah lucu kakaknya, tapi matanya tak ingin diajak kerja sama. Sampai satu hentakan hebat dari jantungnya terasa paling menyakitkan, sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.

"Dek!!" suara serak basah itu melengking dan berdenging di telinga Arka.

Juna menggoyangkan bahu Arka ribut. "Ka, jangan bercanda. Arka!" bentaknya berulangkali, namun pejam itu terlihat rapat.

Tap tap tap

Joan yang datang dengan napas terengah segera menyingkirkan Juna dari tubuh keponakan bungsunya. Kaki Juna rasanya lemas, langsung rubuh terduduk di lantai marmer kamar Arka. Air matanya tak kunjung terbendung.

"Om, tolongin om," ujar Juna lirih sembari mengusap pipinya ala anak kecil.

Juna melihat Hayu yang berlari menghampirinya. Piyama dan rambut kusut itu menandakan sang ibu baru saja bangun tidur siang. Ia sedikit tenang ketika Aruna dan Oka menyusul dengan tidak santainya.

"Kenapa kalian lama sih? Juna nggak tau harus gimana lagi pas sendiri tadi," ujar Juna masih berusaha mengeringkan pipi dan hidungnya yang banjir.

Melihat putra keduanya yang jarang sedih itu menangis, Hayu turut tertular. Yang ia lakukan hanys bisa memeluk putranya itu.

"Juna nggak tau harus gimana" Juna kembali menangis saat Hayu merengkuhnya.

Oka sedikit melangkah menjauh untuk memahami situasinya. Hatinya tercubit ketika adik bungsunya lagi-lagi harus memakai peralatan asing itu di sekujur tubuhnya. Belum lagi adik tengahnya yang menangis bak balita di pelukan ibunya.

Maaf, Oka gagal lagi, Pi, Mi.

☘☘☘

Perasaan tidak enak menggerayangi pikiran Sri Nusantara. Dari pesawat lepas landas ia mssih juga kepikiran manusia-manusia di mansion. Perkataan cucu bungsunya semalam yang paling mengganggu.

Malam yang harusnya menjadi malam keputusan ia memaksa Joan ikut mengurus perusahaan. Ia hampir tak mau tau lagi, sampai terpikirkan untuk menyingkirkan kekasih Joan bagaimanapun caranya.

Sampai Arka tiba-tiba menghampirinya.

Menyejukkan kegerahan hatinya.

"Opa masih belum tidur?"

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang