[2] Menari di Atas Tuts - Keseharian

2.9K 270 23
                                    

Entah sudah lagu ke berapa yang Arka mainkan. Mengisi jam olah raga dengan kabur ke ruang musik memang sudah menjadi kebiasaannya sejak hampir dua tahun lamanya bersekolah. Sebuah grand piano yang ia minta khusus kepada Hayyu selalu tidak absen menemaninya. Walau kadang gitar akustik menjadi selingkuhannya.

Arka tidak tau memainkan lagu apa saja sejak tadi, hanya mengikuti partitur yang tersedia. Alunan nada indah piano selalu berhasil mengusir gelisah menjadi damai. Kalau dilihat begini, sirna sudah Arka si ceroboh. Yang ada hanya pianis muda dan tampan.

Cklek

Pintu ruang musik dibuka seseorang tanpa permisi.

"Waktunya makan, tuan muda," ujar seseorang itu.

Arka menoleh ke sumber suara, memutar bola matanya malas dan berbalik ke piano lagi, "lo ganti baju dulu lah Cak! Bau keringet."

"Buru, gue laper nih. Ntar kalo ditinggal ngambek macem kena pms," balas seseorang itu masih dalam posisi nemplok di tepi pintu.

Dengan langkah malas, Arka menghampiri lawan bicaranya, "yang lain mana?"

"Udah di kantin lah, capek banget gila. Pak Bareta lagi mood banget ngajar, njir."

"Huek! Bau banget lo, kagak pake deodoran ya!" ujar Arka heboh sambil menutup hidung.

Lawan bicara Arka diketahui adalah salah seorang kawan sekelasnya, Wicak, kemudian merangkul Arka erat-erat.

"Jijik Cak! Lepas! Nanti dikira homo. Mending kalo sama yang cakep, kalo sama lo ogah!" omel Arka memberontak masih dengan tangan menutupi hidungnya.

"Hahaha, maafkan saya tuan muda," ujar Wicak tanpa dosa.

Hampir semua kawannya awalnya mengira Arka adalah sosok dingin sombong yang enggan bergaul. Sebab nama belakang yang menyertainya terlalu menyilaukan. Namun pemikiran itu dipatahkan sendiri oleh Arka bahkan dengan jangka waktu belum sampai seminggu bersekolah. Anak asik, jahil, dan ceroboh, begitulah persona Arka di mata kawan-kawannya.

Memang tidak sesuai ekspektasi mereka yang mengira kesana-kemari.

Arka dan Wicak berjalan beriringan. Mengabaikan lalu lalang siswa yang memang tidak seberapa. Tak sedikit yang curi-curi pandang dan saling berbisik bahkan salah tingkah sendiri. Padahal mereka bukan siswa terpintar atau pun anak organisasi bahkan terkesan seenaknya sendiri dan slengean. Belum lagi jika mereka berjalan bersama gerombolan lainnya yang menunggu di kantin. Ah, mantap.

Arka sendiri tidak memiliki kriteria khusus untuk berkawan, hanya saja intuisinya terlalu tajam untuk membedakan mana yang tulus berkawan atau ada maksud tertentu. Dia sangat tahu apa yang dia suka dan tidak. Sekalinya tak suka, akan terlihat jelas di wajahnya.

Dia memang sesederhana itu.

Sangat simpel, seringnya kebanyakan orang di sekitarnya yang memperumit.

Duk duk duk!

Suara lumayan keras itu sontak menghentikan langkah Arka diikuti Wicak. Lorong yang menghubungkan antara ruang musik dengan gudang terasa sepi. Suara gaduh yang berasal dari toilet siswi itu semakin terdengar saat langkah mereka mendekat.

Arka dan Wicak saling bertatap muka. Semakin dekat dengan toilet, semakin kentara. "Takut, Cak. Jangan-jangan penunggu toilet," bisik Arka.

"Setan apa coba munculnya siang bolong begini, ada-ada aja."

Meski bulu kuduk Arka sudah berdiri, namun rasa penasaran mendorong langkah kakinya untuk memasuki toilet itu.

"Kalian ngapain!?" ujar Arka masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang