Harusnya Oka tidak perlu susah payah memenggal tali pertemanan Arka dan Melodi. Lihat saja setelah berminggu-minggu mengetahui identitasnya, Melodi seperti enggan bertegur sapa atau hanya sekadar melihat.
Pantas saja Vernon si budak cinta selalu hilang nafsu makan tiba-tiba atau menjadi manusia paling murung di dunia bila sedang bertikai dengan cintanya atau paling karena pesannya hanya dibaca tak kunjung mendapat balasan. Mengolok-olok adalah suatu keharusan bagi Arka saat kawannya sedang dalam situasi buruk seperti demikian. Sialnya kini ia seperti mendapat karma.
Arka kembali pada kebiasaan lamanya, mendekam berjam-jam di ruang musik sepulang sekolah. Lagu Walking in the Rain sangat syahdu dan tenang untuk perasaannya yang berantakan. Memikirkan ini itu bukan gayanya seperti biasa. Tidak hanya tentang Melodi, namun juga reputasi keluarganya di waktu yang akan datang. Satu sisi ia ingin kebenaran dan keadilan untuk kawan baiknya, satu sisi lagi ia takut bilamana kebenaran yang terjadi adalah objek dari obsesi keluarganya. Untuk itu, ia mencoba tutup mata dan telinga. Hanya menyiapkan diri untuk putusan akhir.
Wangi khas tanah basah akibat hujan mampu membuatnya hanyut.
Ah, tiba-tiba Arka rindu orang tuanya. Entah sejak kapan kali terakhir ia menelpon mereka, ia sendiri tak ingat betul. Bahkan ponselnya hanya dipenuhi notifikasi pesan dan panggilan dari Joan dan Juna, sedikit dari Oka.
Sembari menyelam ke dalam nada-nada dari tuts piano yang dengan rapihnya ia mainkan, perlahan muncul gambaran momen indah bersama orang-orang sekitarnya belakangan. Termasuk waktu bersama sang kakek yang seminggu lalu telah kembali ke Texas setelah menyambangi Bali, tempat kakeknya lahir dan tumbuh kembang.
Semua orang sibuk, kecuali Arka.
Setelah mencapai outro, Arka tersenyum kecut. Rasanya tak ingin mengakhiri lagu ini, namun tidak selamanya keinginan menjadi keharusan, bukan?
Lagunya berakhir, Arka menyembunyikan kepalanya pada lipatan tangannya di atas tuts. Menciptakan akor tak beraturan yang terdengar nyaring, kemudian perlahan hilang dengan sendirinya. Ia sering merasa menyedihkan, namun tak pernah semenyedihkan ini.
Prok prok prok
Suara tepukan tangan tiba-tiba mengisi seluruh ruang musik. Meski seseorang yang lain hadir, Arka tetap bergeming dalam pejamnya.
"Mozart generasi baru nih," ujar seseorang dengan suara soprannya.
Arka menoleh mendengar kalimat barusan. Iris coklatnya mendadak terlihat bulat utuh. Itu Melodi, berdiri dengan canggungnya di dekat pintu.
"Gue nggak seajaib beliau kali. Partitur ilang, dahlah nggak bisa main," balas Arka sambil bangkit dari kursinya mendekat ke tempat Melodi berdiri.
"Kemarin-kemarin lo kenapa?" tanya Arka langsung pada intinya.
"M-Maaf, Ka."
Bukan jawaban yang Arka ingin, tapi mampu membuat hatinya mencair. Ia sangat mengerti, mengucapkan maaf terlebih dulu bukan hal yang mudah.
"Syukurlah, udah waras. Gue pikir lo kesurupan atau diguna-guna gitu, diem mulu."
Melodi tersenyum manis sembari mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang ia bawa. Dua matcha latte rupanya, "bisa bicara bentar?"
Tanpa berpikir lama, Arka mendaratkan bokongnya ke sofa di ruang musik, "matchaaa latte, come to papaa."
Keduanya menyeruput minuman hangat yang telah dingin itu. Tak ada yang bicara cukup lama. Bahkan suara air mengalir dalam tenggorokan pun terdengar saking heningnya. Melodi menggigiti bibirnya sendiri ketika canggung menguasai. Padahal sebelumnya ia telah merangkai kalimat dengan baik dan benar. Tapi kenapa setelah Arka di depan matanya malah tak satu kalimat pun keluar dari mulutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...