[14] Sekuel Sang Pengendali

1.4K 184 20
                                    

Diafragma stetoskop Joan terasa dingin kala mendarat di permukaan kulit dada Arka. Arka berusaha bernafas senormal mungkin untuk menghindari ceramah jilid ke seribu dari Joan. Ia hanya sesekali melirik wajah pamannya yang selalu serius saat memeriksa kondisinya. Padahal ia merasa baik kali ini, setidaknya lebih baik dari kemarin.

Boleh saja Arka merasa baik fisiknya, namun tidak dengan otaknya sekarang. Ia tak peduli dengan kakek dan dua kakaknya yang diam berlagak marah. Hanya Melodi yang tak kunjung enyah dari pikirannya sejak tadi. Proses persidangan perihal Melani belum usai, namun identitas yang berusaha ia tutupi pun terbuka juga. Salahkan semua pada Oka dan kakeknya yang menjemput segera setelah Juna mengadu.

Entah apa yang ada di benak Melodi kala mengetahui Arka adalah adik bos besar perusahaan Melani, yang Arka ketahui hanya Melodi yang tiba-tiba meninggalkan cafe tanpa sepatah kata pun.

"Istirahat, ritme jantungmu masih berantakan." Kalimat Joan mengalihkan perhatian Arka. Mendengar nada datar itu, ia hanya mengangguk pasrah. Untung ia tidak kembali dijebloskan ke rumah sakit. Kamarnya di mansion memang berlipat-lipat kali lebih nyaman.

"Arka mau istirahat," ujar Arka yang juga berarti 'bisa keluar tidak?' kepada tiga manusia lain di kamarnya.

"Kalau Opa lihat kamu kabur-kaburan lagi, siap-siap isolasi di Texas," ujar Sri Nusantara sebelum akhirnya meninggalkan kamar Arka tanpa menunggu cucu bungsunya itu menjawab.

Melihat kedua kakaknya tidak bergerak meski sang kakek telah pergi, Arka berdecih pelan. "Kalian nggak ada kerjaan selain diem di situ?"

"Ini pekerjaan tambahan gue. Ada anak anjing yang hobi keluyuran, harus dijagain biar nggak ilang," jawab Juna.

"Lo ngatain gue anjing!?" sentak Arka tak terima.

"Di mananya gue bilang lo anjing?"

"Jelas padahal. Lagian jarang juga keluyuran, sekalinya cabut semuanya berlebihan," gerutu Arka pelan.

"Mungkin lo amnesia apa gimana ya gue nggak paham. Tapi buat ngingetin aja, dua hari yang lalu ada bocil nginep di rumah sakit gegara kumat penyakitnya, terus besokannya kabur nggak jelas. Berasa kucing kali, santuy punya sembilan nyawa."

Abangnya satu itu selalu berhasil memancing emosinya. "Keluar aja kalau cuman mau ribut," ujar Arka tak mau meneruskan dialog yang menurutnya akan berujung saling menyalahkan.

Juna pun bangkit dan berlalu begitu saja setelah adiknya jelas-jelas mengusir. Cukup menyita tenaga juga, Arka memijit pelan dada kirinya guna mengurangi nyeri yang selalu timbul tenggelam.

Hanya Oka satu-satunya yang bergeming sejak satu persatu meninggalkan kamar Arka.

Cukup lama hening menguasai sampai Arka sendiri lumayan kaget saat melihat Oka yang seolah sedang mengawasinya dalam diam.

"Kakak masih di sini?"

"Pertanyaan yang terlalu bodoh untuk dijawab," ujar Oka.

"Lah itu dijawab, gimana si," gumam Arka kesal.

Hening kembali menguasai.

"Jadi, mohon-mohon kasus Melani dibuka itu gara-gara lo temen deket adeknya?" tanya Oka tiba-tiba.

Arka pun terkejut ketika Oka mendadak bertanya demikian alih-alih menasihati perihal kaburnya.

"Kurang lebih," jawab Arka tanpa berpikir lama.

"Jauhi dia."

Arka mengerutkan keningnya bingung. Kemudian Oka mematikan lampu kamar dan segera kembali ke petarangannya.

Belum sampai ambang pintu, Arka menanggapi. "Apa hak buat milih temen sendiri juga diambil?"

"Setidaknya sampai kasusnya selesai," tambah Oka lagi, "atau sampai Opa pulang ke Texas."

Oka berdiam di depan pintu kamar Arka yang baru saja ia tutup.

Tentu dengan alasan Oka meminta Arka menjauhi Melodi. Ia hanya merasa ganjil. Di saat cafe Juna dipenuhi orang-orang suruhannya, tak satupun di antaranya milik sang kakek. Padahal sejak kabar kaburnya Arka, Sri Nusantara sibuk dengan ponselnya seperti sedang mengutus orang-orangnya.

Belum lagi sambungan telepon dengan Ken beberapa saat setelah Arka ditemukan. Sangat aneh ketika Ken berterima kasih telah membantunya mencegah Flo di bandara. Padahal tak ada satupun orang yang ia suruh ke bandara. Ia bahkan tak tau jika Flo secepat itu ingin kabur dari Indonesia.

Beberapa hal yang terasa ganjil belakangan selalu berkaitan dengan sang kakek. Dari mulai kedatangannya ke Indonesia yang tiba-tiba, bisa saja seharian menghilang, dan mendadak ada di mana-mana.

Kakeknya tak pernah mengunjungi Indonesia jika tak ada hal yang benar-benar darurat. Alasan ingin mengunjungi cucu-cucunya tidak cukup kuat untuk seorang Sri Nusantara bepergian, biasanya ia memilih mengundang ke Texas atau berlibur bersama di suatu negara.

Entah siapa yang ada di sambungan telepon kakeknya tadi, yang jelas Oka hanya ingin berjaga-jaga. Tidak ingin apa yang menimpanya juga terjadi pada adiknya. Arka dan Melodi bisa saja menjadi Oka dan Melani beberapa tahun yang lalu.

Seperti kata Aruna selalu di sela-sela memberi petuah, tidak ada yang benar-benar mengenal Sri Nusantara. Anak-anaknya sekalipun. Ia tidak boleh terlalu mudah untuk disetir. Sejauh ini, Oka kurang lebih mengenalnya dari keputusan dengan minim kerugian yang selalu diambil meski sering mengorbankan hati nurani.

Pertunangannya dengan Flo salah satunya.

☘️☘️☘️


Di tempat lain, seorang wanita sedang berdiri gelisah menatap sekelilingnya. Penerbangan segala maskapai tidak berhasil ia dapatkan. Ia menyalakan ponselnya dari mode tidur. Panggilan tak terjawab dari sang suami tampak pada layar kuncinya.

Wanita itu Flo. Sendiri di tengah ramainya pengunjung bandara. Sebenarnya ia tak menyukai penerbangan malam, menakutkan.

Ingin menenangkan diri, Flo memilih duduk di kursi panjang dekat pilar. Selanjutnya ia kembali memainkan ponselnya asal. Tidak tau mesti bagaimana, ia hanya membuka asal sosial media yang bahkan hanya scroll up scroll down.

"Mau perjalanan kemana?"

Flo menoleh ke sisi kirinya, kemudian sesegera mungkin ia membuang muka. Sejak kapan pria lanjut usia itu ada di sampingnya? Sepertinya ia terlalu panik hingga tak peduli sekitar.

"Asoka, Ken, mereka tau itu saya. Tolong penuhi janji Anda dulu," ujar Flo

"Janji hanya berlaku dulu, waktu kamu masih bertunangan dengan cucuku."

Flo mengusap wajahnya frustasi.

"Anda lebih licik dari yang saya bayangkan. Tunggu saja, saya akan sebut Sri Nusantara ikut andil di pengadilan nanti."

Pria lansia itu, Sri Nusantara, tersenyum simpul. "Lakukan saja yang ingin kamu lakukan. Tapi ingat, kamu hanya perlu memilih, jatuh sendiri atau keluargamu seluruhnya."

Tangannya mendadak tremor, tanpa sadar kelenjar air matanya bekerja lebih keras kali ini. Kakinya lemas bahkan terasa tak sanggup menopang tubuhnya walau ia sedang duduk.

"Saya sudah panggilkan sopir kamu. Selamat tinggal."

"Semua maskapai mendadak penuh saat mereka memeriksa identitas saya. Itu ulah Anda, bukan?"

Lagi-lagi Sri Nusantara hanya tersenyum simpul. Seperti tak ingin membuang waktu lagi, pria lansia itu segera meninggalkan Flo yang sedang membayangkan kehancurannya.

"Anda memang hanya tau untung dan rugi."

☘☘☘

Tbc.

||

Bisa scroll up bagian cerita sebelum-sebelumnya untuk bisa lebih paham

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang