[21] Bersua

1.1K 138 19
                                    

Prok prok prok

Tepuk tangan Pak Budi melengkapi outro piano Arka. Terhitung tiga kali, namun puas Melodi berkali-kali rasanya. Seperti manusia ambisius lainnya, target hari pertama berlatih melampaui inginnya, tentu memberi nilai tersendiri baginya.

"Bisa dibilang tinggal poles dikiiit lagi, perfect. Arka, di bagian bridge mungkin bisa tambah akor yang sedikit kompleks. Untuk Melodi, jangan kebanyakan makan gorengan dulu ya nak," ujar Pak Budi diikuti anggukan mantap keduanya.

"Terima kasih untuk hari ini, latihan selanjutnya bisa tanpa saya, ya, Andrean. Nanti latihan terakhir saya dikabari lagi," lanjut Pak Budi sebelum berpamitan undur diri terlebih dahulu. Takut hujan segera turun padahal langit tak terlalu mendung.

Sebuah alasan untuk mengakhiri percakapan paling mudah memang cukup menyalahkan alam.

Boleh jadi Melodi senang latihan perdananya lancar. Di sisi lain Arka malah senang karena pelanggarannya terkait makan siang tadi seperti tak berpengaruh apapun. Tidak buruk juga sesekali melanggar aturan makan. Malahan sekarang ia lebih bahagia. Rasa makanan yang sama sekali tak pernah ia kecap dalam hidupnya, akhirnya turun juga ke lambungnya.

"Duluan, minggu besok latihannya dihubungi Hana. Nggak sama Pak Budi bukan berarti terus telat-telatan."

Satu kalimat daei suara Dean mengalihkan perhatian keduanya. Melodi mengiyakan, sementara Arka bermasabodoh ria. Ia sudah cukup tau karakter Dean yang dinilainya terlalu antipati dan tak mau melapangkan lebih lebar lagi dadanya.

Tak penting juga. Teman bukan hanya dia.

"Ka, gue jalan dulu ya. Bunda miscall beberapa kali ternyata," ujar Melodi sambil membereskan tas punggungnya.

"Nggak bareng gue aja?"

"Makasih, Ka. Tapi kayanya lebih cepet ngojek deh, duluan yaa."

Melodi langsung melesat pergi dari ruang musik. Arka melambaikan tangan meskipun raga Melodi sudah tak terjangkau.

Tidak ingin cepat pulang sebenarnya, namun suasana sekolah semakin sore semakin menakutkan saja. Mau tak mau ia pun turut berpamitan dengan ruang musik juga alat-alatnya yang sempat di-underestimate olehnya. Nyatanya, tak seburuk yang ia bayangkan meski juga tak sebagus milik kelas spesial.

Sudah mulai hafal rute menuju lobi sekolah dari gedung reguler, semakin bertambah lagu senangnya. Senyumnya mendadak pudar begitu melihat mobil milik sang kakak pertama yang menghampirinya. Perlahan kaca di sisi kanan terbuka.

"Cepetan masuk!" ujar Oka kala melihat sang adik tak kunjung masuk malah berdiri tegak sembari memandanginya.

Arka bergegas masuk sambil sedikit menggerutu.

"Pak Sabar mana? Kakak ngapain pake jemput segala? Kurang kerjaan lu," ujar Arka masih berkutat dengan seatbeltnya.

"La lu la lu. Kakak nggak mau denger kamu bilang gitu nanti."

"Lah bocah ngapa ya. Biasa juga b aja," gerutu Arka pelan namun masih terdengar oleh Oka.

Oka berdecak sebal sembari melirik adiknya tajam kemudian disambut Arka yang memutar bola matanya malas, "iya iya, KAKAK."

Mengerti bukan arah jalan pulang, bukan juga arah ke rumah sakit, Arka hanya mampu celingukan ke luar jendela.

"Kita mau kemana?"

"Masa nggak ngerti ini jalan kemana. Yang ngakunya anak jalanan," jawab Oka sembari terkekeh tak memberi jawaban.

Arka menyesal kala itu pernah mendeklarasikan dirinya sebagai anak jalanan. Ingatannya berputar ketika satu hari satu malam usai akhir semester sekolah menengah pertama, ia tidak pulang, melainkan pergi bersama Vernon dan Wicak berkeliling kota ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah dirambahinya. Ia yang masih belum genap 14 tahun itu tak memiliki cukup alasan untuk meredakan amarah kakak-kakaknya juga Om Joan. Yang terucap ketika skakmat disidang hanya, "jangan berlebihan, aku ini anak jalanan kalau kalian tau!"

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang