Reveal Draft

1K 128 54
                                    

Baiklah kawan2 yg lagi gabut pengen baca2, saya mau reveal salah satu draft saya yg nyempil di antara bab setelah bab 2 Years Ago

Will come back soon--- yg ini beneran gess 😭 paling telat besok laaa huee degdegan mau mulai lagi

Enjoy!

__________________________________
Masih flashback.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️

Sri Nusantara meneguk cepat minuman beralkoholnya. Suara gelas kaca yang bersentuhan dengan meja bergema sampai sudut ruangan. Ruang pribadi di kantor perusahaannya terlalu luas untuk dua orang di dalamnya.

"Baik. Saya akan melindungi kamu, selama pertunanganmu dengan Asoka baik-baik saja."

Binar mata Flo mengalahkan buruknya riasan sekitar mata yang telah luntur akibat tangisannya. Setelah berjam-jam memohon dan berkelit kepada Sri Nusantara, akhirnya ia mendapat jawaban yang diinginkan.

Sri Nusantara mengembuskan napas sebelum berbicara, "kamu sudah buat kacau semuanya, serius. Aruna dan Hayyu kerepotan dengan media dari mana saja, belum lagi kalau sampai menyebar ke luar Indonesia," ujar Sri Nusantara sembari berjalan ke dinding kaca ruangannya.

Flo menunggu kalimat selanjutnya dengan seksama. Sri Nusantara tampak gelisah, pandangan matanya meliar kesana kemari. Untuk ke sekian kalinya ia harus mengambil langkah berbelok.

Sebelum meneruskan kalimatnya, Sri Nusantara memandangi satu spot yang masih cukup ramai dikerumuni polisi di bawah sana. Semua pekerja diliburkan, kantornya sepi saat ini. Keinginan untuk segera membersihkan halaman kantornya semakin bertambah.

"Terlebih kalau kamu mengaku, sangat merugikan."

Kedua sudut bibir Flo sedikit terangkat, ia menghela napas lega.

☘️☘️☘️

Balkon kamar, tempat Arka menyaksikan matahari berpamitan dari arah barat. Langit jingga yang cerah sedikit menghiburnya sekarang. Setidaknya di dunia ini masih ada sesuatu yang indah untuk ia dapatkan.

Sial ekspektasi.

Arka menggenggam beberapa sertifikat dan piagam penghargaannya sebab meraih prestasi membanggakan di final ujiannya juga untuk permainan pianonya. Meneliti kata per kata yang tercetak di sana. Mau diukir seindah apapun, tiada yang peduli. Semua orang sibuk.

Beberapa lembar penghargaan itu dikibas-kibaskan asal, "ck, kertasnya jelek." Kemudian ia melipat satu di antaranya menjadi bentuk pesawat. Mendadak ia kembali mengerti cara untuk tersenyum. Ia melakukan hal yang sama kepada lembar-lembar lainnya. Jadilah empat pesawat dari beberapa penghargaannya.

Ditiup ujung pesawat kertasnya sebelum ia terbangkan bebas begitu saja. Setelah keempatnya dibebaskan, ia menghela napas kasar.

"Jangan jadi beban!" ujarnya lantang kepada pesawatnya yang masih berterbangan. Napasnya mendadak tak beraturan. Hari ini adalah hari yang melelahkan baginya. Sudah ia tahan sejak permainan pianonya pagi tadi, mencoba berpikir positif dan menutup mata. Namun orang tuanya sama sekali belum berkabar, Oka yang sedang bermasalah dalam pekerjaannya, Juna entah kemana perginya.

Pelanggaran janji yang sudah-sudah selalu menyakitkan, tapi Arka rasa ini yang paling. Denyutan tak normal mulai terasa pada dada kirinya. Buru-buru ia masuk ke kamar dan mengunci pintu seperti yang dilakukan Oka. Padahal ia tau mengunci pintu dilarang untuknya. Biarlah ia juga melanggar apa yang mereka atur.

"Arghhh!" erangan itu akhirnya lolos dari tenggorokan Arka. Jemarinya mengerat kuat pada sumber sakitnya. Ia memandangi sebuah tabung berisi pil di atas nakas. Ingin sekali meraihnya, namun keinginan untuk berakhir lebih besar.

Mungkin sedikit balas dendam?

Sayup-sayup Arka mendengar suara ketukan dari pintunya. Ketukannya makin lama makin tak beraturan dan secepat tempo denyutan jantungnya. Meski sulit berkonsentrasi sebab rasa sakitnya seolah menyedot perhatian seluruh tubuhnya, ia tetap berusaha mendengar suara orang di luar pintunya.

Tunggu dulu, bukan suara pelayan atau pun penjaga mansion.

"Arka! Buka pintunya atau kakak paksa dobrak!"

Itu suara bariton milik kakak sulungnya.

Entah halusinasi atau bukan yang jelas ia mendengar suara gebrakan dari pintunya. Ia menjadi takut sekarang. Sakitnya semakin menjadi saja sampai tak bisa bergerak kemana pun. Paru-parunya seolah tak ingin kembang kempis seperti biasanya. Ia tak berani membuka matanya, tak ingin tiba-tiba pandangannya menggelap padahal tengah membuka mata.

Perlahan tubuhnya lelah. Sepertinya tak bisa lagi mempertahankan kesadaran yang sudah cukup lama menipis. Sayup-sayup lagi ia mendengar beberapa langkah kaki mendekatinya. Di antara suara-suara panik itu, ia mendengar suara bariton tadi. Paling dekat dengannya.

Tubuhnya terangkat oleh sepasang lengan kekar entah milik siapa. Arka berusaha membuka mata, ingin melihat siapa orang pertama yang mendekapnya tadi.

Samar-samar tampak wajah Oka yang sembab. Guratan lelah kentara bersama sisa air mata di pipinya. Bibirnya pucat dihiasi kemerahan di ujung hidungnya. Berteriak kepada siapa pun yang menghalangi jalannya.

Arka sedikit tersenyum, entah itu bisa tergambar di wajahnya atau tidak sekarang. Kemudian dengungan keras menyedot fokusnya. Ia masih membuka mata, namun hanya gelap yang ia tangkap. Tubuhnya pun semakin terasa ringan.

Apa balas dendamnya terlalu berlebihan?

☘️☘️☘️

Sibling GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang