Dagu mulus Juna adalah pemandangan pertama yang Arka tangkap ketika membuka mata. Keringat di ujung rambut kakak keduanya merembes sampai kerah kemeja biru muda yang dibiarkan tak terkancing itu. Ia berada di pangkuan Juna saat ini.
Terasa tangan Juna memijat lembut dari pinggiran punggung kiri sampai atas dada kiri Arka. Mata Juna terlihat fokus menatap jalan, sesekali mengumpat sebab pengendara lain menghalangi.
Sia-sia, sebab yang diumpat tidak mendengar, bukan. Arka sedikit terhibur melihat kebodohan kakaknya itu. Menghabiskan energi demi mencapai suatu yang tak mungkin. Namun, bisa saja melegakan hati?
"Duh, sim beli gitu kelakuannya! Pak, klakson terus pak! Udah tau belok kiri jalan terus malah berhenti di sono, nggak ngerti fungsi garis marka apa gimana!?" ujar Juna yang Arka dengar, masih dengan suara menjengkelkan khasnya. Di sisi lain Pak Sabar yang berkarakter sejalan dengan namanya itu kali ini menuruti perkataan Juna yang ususnya pendek itu.
"Sim lo kan juga beli," ujar Arka pelan, lidahnya sudah gatal hendak mengatai Juna, namun tenaganya masih belum memadai.
Juna tampak terkaget-kaget melihat manusia yang sedari sekolah tak sadarkan diri itu tiba-tiba sudah lancar saja menghujatnya.
"Lo udah sadar?" tanya Juna tampak khawatir.
Arka menarik sudut bibirnya tipis, "lo buta?" jawabnya dengan pertanyaan juga.
Juna membuang pandangannya ke jendela tanda jengah.
"Anak anjing ini, apa gue lempar aja ya keluar?" gumam Juna pelan.
Arka sedikit terbahak meski masih lemas. Ucapan Juna memang tak bisa dipercaya, buktinya saja sampai detik ini saja ia masih konsisten memijat dada Arka.
Tangan kanan Arka menghentikan aktivitas Juna, namun tenaganya masih kalah dengan kakaknya, alhasil ia malah mengikuti pergerakan kakaknya.
"Udah bang, geli, lo cabul ya?" Arka mengeluh lirih. Mau tak mau Juna yang sudah kesal tingkat dewa pun menghentikan pijatannya yang disalahartikan itu. Meski ia pun tau itu hanya candaan.
"Syukurlah udah balik lagi jadi manusia jahanam," ujar Juna terdengar lega, tapi tetap ada selintingan kata-kata menyebalkan.
"Kita mau ke mana?" tanya Arka sembari perlahan bangkit hendak duduk ke sebelah Juna.
"Rumah sakit," jawab Juna memalingkan muka ke jendela setelah memastikan Arka bersandar nyaman pada punggung jok.
"Ke kantor Kak Oka aja, Pak," ujar Arka kepada sang sopir.
Juna yang tak terima pun menatap Arka marah, "udah gila ya? Ngapain ke sana nyet? Lupa ya tadi kenapa? Nggak ada ke sana, Pak. Tetep ke rumah sakit aja, tadi gue udah nelpon Om Joan buat siap ngasih wejangan noh!"
"Ya udah, gue nggak mau turun!" jawab Arka kesal.
"Gue paksa nanti sama Om Joan, easy."
"Sudah-sudah, tuan muda," kini Pak Sabar yang sedari tadi diam menurut pun hendak menengahi sebab tak tega melihat raut pucat tuannya yang paling kecil tak kunjung hilang sedari tadi.
"Ya udah gue turun di sini! Pak buka kuncinya!" ujar Arka masih tak mau kalah.
"Nggak, Pak! Lo ngerti posisi gue nggak sih?! Hah? Temen-temen lo tadi aja khawatir segitunya, nanti kalo lo ada apa-apa, gue lagi yang disalahin semua orang! Paham nggak sih lo? Lagian mau ngapain sih ke kantor? Apa yang lo harapkan dari pergi ke sana ha??" omel Juna panjang dengan napas memburu.
"Gue ada perlu sama Kak Oka bentar! Ngapain juga lo perlu disalahin kalo gue ada apa-apa?" timpal Arka hampir menyamai nada Juna.
"Lo nggak tau dan nggak akan pernah tau apa yang gue rasain! Paham? Karena lo nggak pernah disalahin sama semuanya! Jadi nggak usah sok tau!" ujar Juna emosi. Ia membuang muka ke jendela, lagi-lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sibling Goals
Teen FictionHubungan kakak adik impian itu seperti apa? Temukan artinya di tempat lain, karena di sini yang ada hanya kehidupan biasa tiga ekor laki-laki yang kebetulan lahir di rahim yang sama dengan bibit yang sama. Tiga bersaudara yang kadang akur seringnya...