BAGIAN SEMBILAN
Lo butuh edukasi cara menghargai perasaan orang.
***
Selaku guru pengajar Kimia di kelas X, Bu Desi membagikan kertas ulangan harian di kelas X-7 setelah mengadakan ulangan dadakan pada minggu lalu. Bu Desi tak menaruh banyak harap pada kelas tingkat akhir ini yaitu, kelas X-7 yang kebanyakan diisi oleh anak-anak kurang berprestasi.
Satu-persatu siswa maju ke depan untuk mendapat hasil ulangan masing-masing, hingga tiba pada giliran Langga.
Cowok itu melangkah maju ke depan kelas.
"Langga, masukkan dulu bajumu," perintah Bu Desi yang mendapati kemeja putih Langga tidak dimasukkan pada celananya. Langga menurut tanpa protes, lalu membenarkan dasinya juga.
Seragam sekolah Langga pada hari Selasa adalah kemeja putih dengan dasi bergradasi merah dan hitam, almamater serta celana dengan warna serupa yakni, hitam. Biasanya digunakan pada hari Selasa hingga Kamis. Sementara itu, pada hari Senin dan Jumat mengenakan pakaian seperti anak sekolah pada umumnya, putih abu-abu.
"Jangan lupa dipakai almamaternya," sambung Bu Desi.
Langga merasa hanya Bu Desi yang menyuruh Langga melakukan hal tersebut, padahal siswa lain mengenakan seragam mereka asal-asalan.
Bu Desi menyerahkan selembar kertas pada Langga. Di ujung kanan, tertera dua digit angka dengan tinta merah. "Langga, nilaimu paling kecil di antara teman-teman sekelas kamu. Kamu menahan diri, ya?"
Langga menerima kertas ujiannya. "Menahan diri, Bu?"
"Iya, padahal Ibu lihat, ada potensi besar pada diri kamu. Bukannya saat SMP, kamu selalu memenangkan juara pertama berbagai olimpiade?"
Lagi-lagi itu yang dibahas, Bu Desi sudah ratusan kali mengusik topik tentang Langga yang memenangkan banyak olimpiade saat SMP dulu. Namun, Langga selalu mengelak dan mengatakan bahwa semuanya hanya ada pada masa lalu.
Melihat tak ada jawaban dari Langga, Bu Desi mengembuskan napasnya. "Ya sudah, kembali ke tempat dudukmu, ya."
Bu Desi melanjutkan pembagian hasil ulangannya, sementara Langga meletakkan kertas ulangannya di laci meja, dan kepalanya pada tumpukan lengan.
"Wah, parah," ujar Dirga. "Dua puluh? Langga lo niat sekolah, nggak?"
Langga berdecak ketika Dirga sebagai teman sebangkunya mengambil kertas ulangannya.
"Jangan main ambil, Ga," balas Langga. Tangannya meraih secarik kertas di tangan Dirga, namun sebelum itu, tangan Dean lebih dulu mengambilnya.
"Belum pernah gue lihat nilai sesempurna ini," sindir Dean dari bangku depan.
"Lo niah sekolah nggak, sih?" sahut Leo, teman satu bangku Dean.
Sudah kedua kalinya Langga mendengar kalimat yang sama, dan itu sangat menyebalkan.
"Terserah gue mau niat apa nggak!"
"Buukan gitu. Kita ngomong gini karena kita itu peduli," balas Dirga.
"Nah, Dirga benar. Kita khawatir kalau bokap lo marah lagi, bisa-bisa fasilitas lo diambil dari lo," ucap Dean.
"Gue nggak terlalu peduli."
Dean dan Dirga saling menatap, lalu mencibir bersamaan.
"Siapa yang selalu pinjemin lo duit pas kartu kredit lo diblokir? Kita," ujar Dean dan Dirga kompak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe [COMPLETE]
Teen Fiction[Tidak direvisi sebelum publish karena malas. Apabila ada ratusan typo dan tata bahasa buruk, itu karena tidak direvisi] Kalimat cinta yang Langga utarakan pada Dasha seharusnya merupakan sebuah kebohongan. Meski begitu, seiring waktu berjalan, baik...