BAGIAN TUJUH BELAS
***
“Gara-gara lo, Ga!” Dasha masih menyalahkan Langga yang balas tertawa.
“Mau gimana lagi,” balas Langga.
Keduanya kini tengah berada di lapangan upacara, hormat pada tiang bendera yang kosong sebagai hukuman karena telat datang ke sekolah. Meski baru pukul sembilan, matahari di atas sana bersinar lebih terang dan lebih terik, seolah tengah menertawakan keduanya.
Kemarin, setelah asyik sendiri di ruang tamu rumah keluarga Dasha, Langga dan Dasha malah tertidur di sana hingga pagi tiba. Dhika membangunkan mereka pukul tujuh dengan tawa tertahan ketika ia sudah siap berangkat ke sekolah. Tentu bagi Dasha, hal ini sangat buruk. Ia tak pernah terlambat walau hanya sedetik, dan di sini, hukuman pertamanya. Dan lebih buruknya adalah dihukum bersama dengan Langga.
“Gue ada ulangan Fisika hari ini, jam pertama, telat,” keluh Dasha.
“Sama, dong,” balas Langga riang. “Gue ulangan Fisika jam kedua, bentar lagi. Tapi kayaknya kita bakalan lebih lama di sini, kalau susulan kita bareng aja.”
Dasha berdecak. Kenapa Langga sangat menganggap remeh hukuman dan ulangan ini? “Lo nggak bisa lebih serius apa?”
“Eh? Apa? Lo mau gue seriusin?”
Dasha menyikut Langga yang langsung mengaduh, cowok ini selalu saja bercanda.Langga tertawa. “Bercanda, Dash. Tapi kalau beneran juga gue nggak apa-apa, kok.” Dasha kembali menyikut Langga, namun lebih keras.
“Untung gue sayang, jadi gue nggak marah, kok.” Lagi-lagi Langga tertawa, seakan ia memang memiliki ribuan kotak suara.
Tepat pukul sepuluh pagi, ketika bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat jam pertama dimulai, mereka akhirnya diperbolehkan kembali ke kelas masing-masing. Tanpa banyak bicara, Dasha langsung menggerakkan kedua kakinya menuju ruangan kelasnya. Guru yang mengajar baru saja keluar, menyapa Dasha, dan kembali melanjutkan langkah.
“Aduh, date yang manis,” komentar Natari.
“Bukan date. Lo nggak bisa bedain mana dihukum dan mana date?” tanya Dasha sarkastik.
Natari tertawa, bertanya banyak hal soal apa saja yang mereka lakukan saat dihukum.
Saat itu pula, Raya tiba yang membuat Natari menghentikan ocehannya. Raya menyerahkan kantung plastik kecil bening pada Dasha.
“Dari siapa?” tanya Natari mewakilkan.
“Langga,” balasnya singkat, lalu tersenyum pamit.
“Duh, Gaga perhatian banget, sih,” ujar Natari lalu mengeluarkan sebotol air mineral dingin dan dua bungkus roti kemasan buatan kantin sekolah, serta ada note kecil, ‘Maaf, ya. Gue harus gimana biar lo nggak marah lagi?’.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe [COMPLETE]
Teen Fiction[Tidak direvisi sebelum publish karena malas. Apabila ada ratusan typo dan tata bahasa buruk, itu karena tidak direvisi] Kalimat cinta yang Langga utarakan pada Dasha seharusnya merupakan sebuah kebohongan. Meski begitu, seiring waktu berjalan, baik...