BAGIAN EMPAT BELAS
***
Sebuah ruangan dengan lebar lima belas kali lima belas meter itu digunakan oleh enam orang siswa untuk melaksanakan rapat dadakan. Cat temboknya yang berwarna putih terang, satu-satunya meja panjang yang berada di tengah ruangan dipenuhi oleh tumpukan-tumpukan kertas yang kebanyakan diisi oleh berbagai macam tema dialog-dialog drama dari Klub Drama, serta jendela yang terbuka mengembuskan angin sepoi yang tenang dan menyejukkan, namun tidak dengan keenam individu yang ada.
Julian, ketua Klub Drama tahun ini berjalan mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Laporan bahwa tidak ada anggota yang cocok sebagai pemeran utama pada drama untuk pentas seni yang akan datang satu setengah bulan lagi membuatnya cukup merasa resah.
“Julian, apa kita buka audisi aja?” usul Acha, sekretaris klub drama.
“Menurut gue jangan. Apa kata OSIS kalau kita buka audisi, nanti yang ada malah diremehin sama mereka,” balas Lusi sambil membenarkan letak kacamatanya. OSIS adalah satu-satunya musuh Klub Drama, berawal dari perdebatan kecil antara anggota yang malah berimbas pada keseluruhan organisasi maupun klub.
“Ribet amat, ini bukan waktunya kita ngerepotin itu, kan?” ujar Kenma kesal. “Pensinya satu setengah bulan lagi. Kalian tahu kan, latihan klub drama itu berat?”
“Jangan dibawa emosi. Tenang aja, gue punya rekomendasinya,” ujar Natari tersenyum yakin.
Semua pasang mata mengarah padanya, termasuk Julian yang langsung menggebrak meja dan menatap Natari penuh harap. Bisa dibilang, kalimat itu yang sedari tadi Julian tunggu. “Lo tahu siapa yang cocok jadi pemeran pangeran di drama?”
Natari mengangguk. Ia sudah memikirkan soal ini matang-matang sedari tadi. Kriteria tokohnya pun sangat cocok. Naskah buatan mereka kali ini menyangkut sebuah tema kerajaan di mana pangeran dan puteri saling jatuh cinta ditambah antagonis yang menginginkan puterinya. Meski begitu, naskahnya masih dalam proses pembuatan.
Natari mengeluarkan ponselnya, menunjukkan sebuah foto berdua yang ia ambil diam-diam. Natari menge-zoom wajah si cowok yang tengah tersenyum kecil. “Namanya Langga, dari kelas X-7. Meski kelihatannya bego, tapi dia nggak bego-bego amat. Kalau demi Dasha dia pasti mau lakuin semuanya, makanya gue yakin dia cocok banget jadi pemeran pangerannya. Dia ganteng, banyak drama, ditambah dia nggak terikat ekskul lainnya alias dia nggak ikutan ekskul apa pun. Gimana?”
Sejenak, kedua mata Julian berkilauan senang. Cowok itu sangat bijaksana, tapi berbeda jika kaitannya ketika tidak ada yang mampu memerankan karakter dari naskah buatannya. Sebagian dari naskah banyak diambil dari ide-ide anggota lainnya, terkadang dibantu oleh anggota Klub Jurnalis, tetapi kebanyakan Julian sendiri yang membuatnya.
“Gue harus cek dia dulu, kalau dia pantes, dia pasti gue debutin di panggung,” putus Julian setelah ia berdeham kecil.
“Tentu ada syaratnya dong,” kata Natari mengedikkan bahu, sorot matanya ia alihkan, memancing Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe [COMPLETE]
Teen Fiction[Tidak direvisi sebelum publish karena malas. Apabila ada ratusan typo dan tata bahasa buruk, itu karena tidak direvisi] Kalimat cinta yang Langga utarakan pada Dasha seharusnya merupakan sebuah kebohongan. Meski begitu, seiring waktu berjalan, baik...