Mereka semua pun segera masuk ke ruang guru untuk mencari kunci bis sekolah. Lampu sengaja tidak dinyalakan karena mereka mengira cayaha dari lampu akan mengundang makhluk-makhluk itu kemari. Dengan peralatan seadanya seperti cahaya layar ponsel mereka gunakan untuk mencari benda kecil yang akan menyelamatkan mereka dari sekolah kematian ini. Setelah lama susah payah mencari, tetap saja mereka tak menemukan kunci tersebut.
"Sepertinya akan mustahil mencari sebuah benda sekecil penghapus ujian di dalam kegelapan seperti ini." Oceh Chouji entah kepada siapa. Naruto yang mendengar itu pun menjawab ocehan Chouji dengan malas.
"Sudahlah Chouji, berhentilah mengeluh dan tetaplah mencari."
"Anko-sensei, apa kau yakin kunci itu ada di ruangan ini?." Tanya Sona kepada satu-satunya guru di kelompok mereka.
"Umm.. ya, aku masih ingat kepala sekolah meletakkannya di sekitar sini." Anko menjawab sambil tetap mencari di rak penyimpanan warta sekolah.
Sakura yang terlihat lelah menyeka keringat di jidat lebarnya. Juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Chouji, bahwa mencari sebuah kunci bis yang panjangnya tak sampai sejengkal tangan orang dewasa, terasa sangat mustahil di ruangan gelap seperti ini. Jika pencarian tetap dilakukan sepertinya hanya akan sia-sia saja bagi Sakura. Namun ia tak menyampaikan apa yang ada di pikirannya kepada mereka, karna baginya itu hanya akan membuat kondisi psikologis mereka menjadi down. Membuat mereka putus asa bukanlah sudah pasti bukan kemauan Sakura.
Para manusia yang tersisa di Konoha Gakuen ini mencari dengan ditemani oleh sinar rembulan yang melingkar sempurna. Membuat ruangan yang berada disitu tersinari oleh cahaya elok sang raja malam. Walau tak mampu menerangi sudut-sudut ruangan, namun sinar bulan purnama masih mampu menerangi tubuh mereka, hingga memudahkan mereka melihat para rekannya.
"Ayolah.. kumohon.." Gumam Sona pelan tetapi masih bisa terdengar yang lain.
Sona sedang membongkar-bongkar lemari kecil yang menyatu di bawah meja. Tangan kanannya memegang sebuah ponsel berwarna biru aqua untuk memudahkannya mencari. Sedangkan tangan kirinya sibuk begerilya menelusuri setiap lekuk benda yang ada di dalam sana. Tanpa ia sadari Naruto yang tak jauh darinya berjalan menghampiri Sona. Gadis berkacamata itu pun sedikit terkejut saat Naruto telah berjongkok di sampingnya.
"Sitri-san, biar kubantu.." Kata Naruto pelan sambil memegang ponsel Sona.
"B-Baiklah.." Ujarnya kecil
Sona terlihat salah tingkah ketika Naruto berapa di dekatnya. Seolah tahu apa yang Naruto akan lakukan, ia pun melepaskan genggamannya pada ponsel biru itu. Membiarkan Naruto yang mengambil alih urusan pencahayaan. Tak lupa juga Naruto arahkan layar ponselnya ke dalam meja disitu. Membuat pencahayaannya semakin terang, agar memudahkan Sona mencari kunci tersebut. Sebenarnya Naruto melakukan ini hanya untuk alasan saja, karena ia memang terlalu malas untuk mencari. Pekerjaan yang sangat membosankan baginya. Ketika melihat Sona tak terlalu jauh darinya, segera saja ia memulai acara pendekatannya. Bukan pendekatan untuk mendekati Sona, melainkan pendekatan untuk menutupi alasannya agar tidak ikut mencari kunci yang entah sampai kapan akan ditemukan. Untuk otak sekaliber otak Naruto, itu merupakan ide brilliant yang ia dapat pikirkan. Bisakah itu dibilang licik? Terserah pemikiran kalian.
"Bisakah kau berhenti memanggil margaku dan mulai memanggil nama depanku?." Gumam pelan Sona kepada Naruto dengan sedikit rona merah di wajah manisnya. Suaranya lebih seperti orang berbisik bila diperhatikan. Namun apa daya, suaranya yang terlampau pelan untuk didengar walau Naruto ada di dekatnya.
"Um? Kau mengatakan sesuatu, Sitri-san?." Tanya Naruto dengan tampang tak berdosanya.
Perempatan mucul di kening Sona. Berusaha agar suaranya tak terdengar oleh orang lain dan sekuat tenaga ia menahan malu saat mengatakan itu pada Naruto, tapi bocah kuning itu sama sekali tak mendengarnya. Sungguh membuat Sona kesal. Apa harus ia ulangi lagi dan menahan rasa gugupnya kembali?
"Baka.." Pekiknya kecil.
"Eh.. uhhh..." Naruto menghembuskan nafas pelan karna ia tak mengerti apa yang dibicarakan Sona. Gadia itu mengatakan sesuatu dengan sangat pelan dan hampir seperti bergumam pada diri sendiri lalu menyebutnya baka saat ia bertanya?
'Benar-benar aneh.' Pikir Naruto dalam hati
Suara-suara kayu yang bergesekan akibat dari bergeseknya meja dan kayu yang disusun di depan pintu masih terdengar dari dalam gudang. Memang sekarang tidak ada dobrakan yang agresif lagi dari luar, dan itu membuat Kiba sedikit lebih tenang. Pemuda spike itu bersandar di dinding tak jauh dari Hinata sambil memasang pose berpikir. Ia masih memikirkan cara untuk kabur dari ruangan pengap ini tanpa menimbulkan resiko yang terlalu besar untuk tidak sampai tergigit oleh para mayat hidup di luar. Namun sampai detik ini, belum juga ada satu ide pun yang muncul di kepalanya. Merasa semua ini hanyalah jalan buntu, ekspresi Kiba yang tadinya serius, kini berubah menjadi cemas. Ya... dia mencemaskan nasib dirinya dan Hinata yang mungkin tak akan pernah bisa keluar dari ruangan ini.
Hinata yang melihat perubahan ekspresi di wajah Kiba mengerti bahwa saat ini Kiba telah mencapai batasnya. Mata indah bak rembulan yang saat ini sedang bersinar terang, kini berubah sayu. Menyiratkan rasa lelah dan seperti akan menyerah. Tapi bukankah Hinata telah berjanji secara tak langsung pada bocah kuning rancung yang telah memberikannya banyak inspirasi tentang arti perjuangan dan indahnya kehidupan dari sudut pandang yang berbeda, bahwa ia tak akan pernah menyerah lagi dalam kondisi apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto : Perang Dunia Zombie 4 (PDZ4)
Fanfiction[END] Tamat 19 Agustus 2021. Cerita dari November 2020. Ketika terjadi sebuah insiden mengerikan di sekolah yang mampu membunuhmu tanpa belas kasihan, apa yang akan kau lakukan? Lari untuk bertahan hidup, atau mati menjadi mayat hidup! Bersama sisa...