"Jangan sia-siakan waktu ini, Namikaze-kun. Kita tidak akan bisa merasakan ketentraman ini untuk lebih lama lagi. Inilah kesempatanmu, untuk lebih dekat dengannya."
Lanjut Anko lagi. Tentu apa yang dikatakannya benar. Tidak ada siapa pun di antara mereka yang tahu bahaya seperti apa yang akan datang. Naruto menegakkan tubuhnya yang tadi bungkuk bersandar pada sisi jendela. Ia melihat Anko sekilas, lalu mengangguk sekali tanda mengerti.
"Wakatta.. Arigatou, Sensei."
Katanya sambil berlalu pergi dengan senyum yang terukhir di wajahnya. Meninggalkan Anko yang kembali melirik keluar jendela. Melihat biru langit yang sangat mengingatkannya pada bocah pirang itu.
Naruto menuruni tangga lantai 3 untuk turun ke lantai 2 mansion ini. Mencoba menemui seseorang yang sudah serasa dekat dengannya, walau mereka jarang bicara secara empat mata. Semakin ia menuruni anak tangga yang ia tapaki, semakin ia mendengar suara dua gadis yang semakin dekat. Suara dua gadis yang tidak asing di gendang telinganya.
"Sedikit lagi. Kau akan mulai terbiasa!."
Seru seorang gadis berambut merah muda yang terdengar senang di sela nadanya. Naruto melihat seorang gadis yang menuntun seorang gadis yang lain ketika kakinya melangkah di anak tangga yang terakhir. Namun gadis yang dituntun itu hampir terjatuh ke lantai, namun dengan sigap gadis merah jambu di sampingnya menahan tubuh itu.
"Y-Ya... Ini sangat sulit, karena aku tak pernah melakukannya. Tapi... Aku akan tetap berusaha..."
Balas gadis itu.
"Aku selalu suka semangat itu... Itulah yang kusukai darimu, Hinata."
Sebuah suara yang mendekat dari belakang mengagetkan mereka berdua. Sebuah senyuman hangat menyapa mereka.
"Na-Naruto-kun..!"
Pekik pelan Hinata, gadis yang sedang dituntun Sakura. Ekspresi terkejut Hinata hampir membuat gadis merah jambu di sampingnya tertawa. Sangat lucu, dan polos... Pikir Sakura saat itu. Ada sedikit rasa sesal di hatinya. Kenapa tidak dari dulu dirinya bisa dekat dengan Hinata seperti ini..?
"Sakura... Istirahatlah. Biar aku yang akan menemani Hinata. Ada hal yang ingin aku bicarakan."
Ucap Naruto yang berdiri tepat di antara kedua gadis itu. 'Syukurlah...'
Hati Naruto begitu lega ketika melihat Hinata bangkit dari jatuhnya tadi, dan berdiri tegap tepat di depannya.
"Aah... Baiklah... Aku akan menghampiri yang lain di lantai bawah. Susul kami jika kalian telah selesai, ne..?"
"Terima kasih, Sakura."
Kata Hinata kepada Sakura yang mulai meninggalkan mereka berdua sendirian. Mendengar ucapan terima kasih dari dari Hinata, membuat Sakura berbalik sebentar untuk mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum sebagai sebuah balasannya.
"Huhhh... Sebaiknya... Aku harus memulainya dari mana..."
Ucap Naruto sedikit depresi memikirkan awal apa yang harus ia katakan pada gadis di depannya. Melihat Naruto sedang mengeluarkan ekspresi yang aneh membuat Hinata tertawa pelan. Namun di satu waktu, ada sesuatu yang terasa hilang dari sendi lututnya.
"..?!"
Hinata terkejut ketika hal ini terjadi lagi. Otot di sekitar sendi lututnya kehilangan kekuatan untuk menopang beban tubuhnya. Membuat gadis itu kembali hampir terjatuh ke lantai. Akan tetapi satu uluran lembut menggapai lengannya.
"Ahaha... Tidak apa. Aku yakin, kau akan segera terbiasa."
Kata Naruto menopang beban tubuh gadis berponi itu. Dengan dibantu Naruto, Hinata kembali menegakkan tubuhnya. Lalu di bawah deru angin lembut yang berhembus, Naruto menuntunnya. Mereka berdua mulai berjalan berdampingan menyusuri lorong panjang yang akan menutu ke tangga lantai bawah.
"Aku lega... Kita semua masih punya waktu untuk berkumpul kembali di satu tempat sedamai ini... Di saat segalanya telah berubah."
Naruto membuka percakapan di antara mereka karena Hinata yang terdiam sejak tadi.
"...Aku juga... Merasakan hal sama. Aku bersyukur, pada akhirnya... Kita masih bisa terus bersama setelah semua apa yang telah terjadi."
Jawab Hinata yang melihat ke arah luar jendela besar di sampingnya. Dengan hanya melihatnya, Naruto tahu arti pandangan itu. Pandangan yang mencakup rasa senang, lega, murung, serta sedih di waktu yang sama. Karena ia juga pernah mengalaminya.
"Ini belum berakhir, Hinata. Karena... Itu yang kurasakan."
"...Sou. Semua yang terjadi, harus berapa lama lagi...?"
Tanya Hinata menerawang ke atas awan. Menciba bertanya entah pada siapa. Kapan mimpi buruk ini akan berakhir...? Ia ingin tahu jawabannya.
"Tidak ada yang tahu. Bahkan aku pun juga. Tapi kurasa justru itu..."
Kalimat Naruto menggantung, ketika tangannya membuka telapak tangan Hinata dan meletakkan sesuatu di atas sana.
"...Aku ingin kita bertahan lebih lama lagi, sampai saat di mana kita semua bisa terbangun dari mimpi buruk ini."
Lanjutnya lagi menyelesaikan kalimatnya yang sesaat mengganyung tadi. Hinata cukup terkejut, melihat apa yang Naruto letakkan di atas telapak tangannya.
"Ini milik seseorang yang telah menyelamatkanku. Seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Ini miliknya... peninggalan Ayahmu..."
"..."
Hinata diam seribu bahasa ketika kembali mendengar kata yang mengingatkan rasa sedihnya. Ayah... Sebuah kata yang terasa perih setelah ia mengetahui apa yang telah terjadi di malam itu dari Naruto.
Flashback
"Hei.. Anak muda..."
"...?"
Tangan kanan Hiashi yang tidak terluka, membuka jaket abu-abu miliknya.
"...Aku tidak punya banyak waktu lagi... Kini semua yang kumiliki adalah milikmu."
Pada waktu itu, di mana seorang pria yang telah menyelamatkan nyawa Naruto, menggenggam sesuatu di genggamannya. Lalu mengulurkannya kepada Naruto. Sesuatu yang pemuda itu tidak mengerti. 2 tabung kaca kecil berukuran seruas ibu jari terulur kepadanya. warna dari cairan bening berwarna biru menghiasi isi tabung kaca itu.
"Satu untuk putriku... Dan pastikan kau menjaga yang satunya. Lindungilah 2 hal yang kutitipkan ini, anak muda... Aku percayakan padamu..."
"Jaga Hinata untukku..."
"..."
Daaarrr...
Flashback End
Hinata hampir menangis. Mata indahnya terus memandang senjata itu di atas telapak tangannya. Memandang nanar salah satu peninggalan dari seorang Ayah yang sangat ia sayangi. Satu-satunya keluarga yang ia punyai. Kini semuanya telah berubah. Bersama dengan keterbatasan fisik yang menurut Hinata sangat membebani rekan-rekannya. Satu hal lagi yang ia sadari. Kesembuhannya ini.. Juga salah satu peninggalan seorang Ayah yang bernama Hiashi Hyuuga.
Tangan kanannya yang kosong menyeka pelupuk mata yang telah tergenang oleh air mata. Hinata mulai tersenyum. Dirinya bangga, menjadi seorang putri dari Ayah yang sangat hebat. Yang telah membuatnya mampu berdiri, bahkan berjalan. Dan juga, yang telah menyelamatkan seorang pemuda yang begitu penting di sela hidupnya. 'Terima kasih... Ayah...'
Setelah menyeka air mata yang hampir terjatuh, tangannya menggapai tangan Naruto kembali. Meletakkan tangan pemuda itu kembali untuk menggapai sepucuk senjata yang kini telah menjadi miliknya itu.
"Ayahku... Hebat bukan... Naruto-kun."
Setelah sekian lama terdiam, Naruto sedikit terkejut mendengar kata-kata Hinata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto : Perang Dunia Zombie 4 (PDZ4)
Fanfic[END] Tamat 19 Agustus 2021. Cerita dari November 2020. Ketika terjadi sebuah insiden mengerikan di sekolah yang mampu membunuhmu tanpa belas kasihan, apa yang akan kau lakukan? Lari untuk bertahan hidup, atau mati menjadi mayat hidup! Bersama sisa...