Flashback
"Ada seseorang yang kau kagumi?."
"Ja-Jangan bicara terlalu keras, Ayah..."
Sore itu, tepat setelah Hinata pulang dari taman di pusat Kota Konoha, lengkap dengan seragam sisiwi Konoha Gakuen. Wajahnya yang putih itu sedikit tersamarkan oleh rona merah tipis ketika ia memulai berbagi cerita dengan Hiashi Hyuuga, keluarganya yang masih setia berada disampingnya.
"Coba Ayah tebak... Seseorang yang kau kagumi itu... Kakak kelasmu?."
Tanya pria paruh baya berambut hitam panjang yang sedang melepas kacamata kerjanya. Kini perhatiannya hanya tertuju pada satu hal, yakni putrinya. Ia rela berhenti beberapa waktu saat sedang sibuk-sibuknya memonitoring perkembangan penelitian biologis di laptop pribadinya untuk meluangkan waktu menemani putrinya itu.
"Bukan..."
Hinata menggeleng lemah.
"Kita berada di tingkat yang sama, namun kita berada di kelas yang berbeda."
Lanjutnya lagi sedikit kecewa. Hingga membuat rona yang menggemaskan itu pudar sesaat.
"Hmm... Lalu, apa yang membuatmu begitu mengaguminya?."
Tanya Hiashi berpura-pura antusias dengan cerita putrinya itu.
"Ehmm..."
Hinata berpikir keras. Ia mencoba mencari sebuah alasan untuk menjawab pertanyaan Ayahnya. Walau begitu lama berpikir, yang terlintas di benaknya hanya satu hal.
"Aku mengagumi semangatnya. Ya... Aku menyukai semangatnya, yang terkadang seolah mampu menghapus lelah di hatiku."
Jawabnya sambil memalingkan pandangan matanya ke arah lain. Juga tak ketinggalan, rona tipis di pipi mulusnya muncul kembali ketika mengingat senyuman lembut pemuda yang dikaguminya itu. Hiashi tersenyum simpul.
"Semangatnya..? Hal yang unik untuk sekedar dikagumi. Pasti dia seorang pemuda yang baik, benarkan Hinata?."
Tanya Hiashi lagi yang mulai sedikit terbawa suasana. Seakan stress di pundaknya sedikit berkurang melihat ceria wajah putrinya itu, yang sangat jarang terlihat seperti sekarang.
"Benar! A-Aah...? Tunggu... Ke-Kenapa ayah bisa tahu?."
Rona di kedua pipi Hinata semakin terlihat memarah ketika Ayahnya mengetahui jika seorang yang sedang dikaguminya itu adalah seorang pemuda. Tentu ini membuat Hiashi tidak bisa menahan tawa.
"Ayah hanya menebak. Itu saja."
Jawab Hiashi santai tidak menghiraukan pipi putrinya yang semakin merona.
"...Dia memang orang yang baik. Dia tidak seperti murid-murid yang lain. Walau aku mendengar, bahwa ia adalah siswa yang... Uhm... Tidak mudah menangkap apa yang sedang diajarkan. Dia bukanlah orang yang sempurna. Namun dia tetap mempertahankan semangatnya. Bahkan, aku merasa... Dia telah membagi serpihan semangat itu untuk diriku."
Hinata tersenyum. Mengingat kembali kata-kata pemuda itu saat masih di taman Kota. Lebih tepatnya, saat di bawah pohon rindang yang hijau di sana.
"Sepertinya Ayah harus bertemu dengan anak itu, karena telah membuat putri ayah menjadi lebih tampak ceria seperti ini."
Goda Hiashi yang makin membuat wajah Hinata memanas. Tentu godaan Ayahnya itu membuat Hinata terdiam menahan malu.
Tiba-tiba saja sebuah notifikasi e-mail muncul di pojok layar laptopnya. Melihatnya singkat gambar kecil yang muncul saat notifikasi berbunyi, membuatnya tahu siapa pengirim e-mail tersebut. Tanda sebaiknya ia segera pergi menemui orang itu untuk membicarakan suatu hal yang penting. Ditutupnya laptop pribadinya itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah tas.
"Maaf Hinata, Ayah harus segera pergi. Mungkin kita bisa lanjutkan ini lagi nanti malam."
Ucap Hiashi sambil mengelus lembut pucuk kepala Hinata. Lalu segera berjalan menuju pintu besar di sana. Hinata terus memperhatikan Ayahnya yang terus melangkah mendekati pintu keluar rumah ini.
"Atau mungkin tidak sama sekali..."
Gumam Hinata pelan dengan raut kecewa. Ia tahu benar jika Ayahnya mendapat e-mail itu, malam ini, atau pun besok. Ayahnya tak akan pulang secepat keinginannya. Hiashi membuka knop pintu yang besar itu, lalu berjalan keluar dan akan segera menutup pintu yang telah dilaluinya. Hinata menyadari bahwa Ayahnya tidak akan mungkin pulang malam ini untuk mendengar lanjutan cerita curahan hatinya.
"...Namanya... Namanya adalah..."
Glek...
Pintu di sana telah tertutup rapat. Hiashi telah pergi dengan secerca semangat yang ia bawa dari ceria wajah putrinya itu. Setidaknya, putrinya kini mempunyai seseorang yang akan jadi sumber motivasinya. Itu lah yang terpikirkan oleh Hiashi.
Flashback End
"Aku sangat menyayanginya... Bahkan jika dia masih..."
Di sela menahan sakit dari luka yang dideritanya,Hiashi merenung sedih. Putus asa dengan situasi yang sangat menyulitkan ini.
"Dia masih hidup paman... Dia bersama dengan kami. Bersamaku beberapa saat yang lalu."
Kata Naruto yang seolah mengerti arah dari maksud kalimat menggantung Hiashi. Pria bermata sama persis dengan Hinata itu sejenak melihat pemuda yang kini tengah memapah kepalanya. Sebelum akhirnya tersenyum dalam mata terpejam. Walau tak terucap, ia sangat bersyukur. Benar-benar sangat bersyukur. Hatinya lega mendengar bahwa Hinata masih selamat dari kejadian mengerikan ini.
"Hei.. Anak muda..."
"...?"
Tangan kanannya yang tidak terluka, membuka jaket abu-abu miliknya.
"...Aku tidak punya banyak waktu lagi... Kini semua yang kumiliki adalah milikmu."
Ciiiiittttss...
Sebuah mini bus melakukan Hard Braking untuk melakukan satu pemberhentian. Tampak sekelompok anak muda di dalamnya memandang ke arah luar jendela. Lebih tepatnya ke arah kantor pusat markas kepolisian Konoha. Mereka berhenti tepat di titik 76 meter sebelum sampai ke sana.
"Tidak ada jalan untuk mencapai markas itu."
Ucap Chouji, pemuda yang telah menginjak pedal rem keras-keras tadi hingga membuat yang lain harus menyangga tangan agar tidak terhempas ke depan.
"Terlalu bersiko jika memaksa untuk menerobos..."
Sasuke ikut menimpali perkataan Chouji barusan. Perkiraannya Minibus ini tidak akan mampu menerobos gerombolan zombie yang telah mengepung gedung itu. Bahkan dengan kecepatan seberapa pun.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Sasuke-kun?"
Tanya Sakura yang telah lepas dari tempat duduknya untuk melihat lebih dekat tempat tujuan mereka.
"...Ini sulit."
Kata Sasuke pelan. Sungguh... Sama sekali ia tidak bisa memikiran apa pun untuk bisa membawa Minibus ini masuk ke sana.
"Sepertinya di sana telah terjadi kekacauan. Mereka diserang habis-habisan hingga mencapai atap."
Ucap Sona sambil menunjuk ke arah atap gedung itu. Suara-suara dan ledakan bubuk mesiu yang menghasilkan percikan cahaya statis dari senjata seperti Sub-Machine Gun begitu ramai di sana. Begitu banyak tembakan yang dilepaskan, hingga sudah tidak terhitung lagi.
"Helikopter itu tampak berbeda dari yang kita lihat beberapa saat tadi..."
Suara Hinata membuat mereka semua menyadari satu hal. Helikopter yang sedang mengudara tepat di atas gedung itu sangat berbeda dari helikopter evakuasi sesaat tadi. Heli ini nampak seperti heli biasa.
"Benar..."
Gumam Sakura pelan yang masih bisa didengar oleh yang lain. Di sela ramai penuh tembakan di atap gedung itu, heli itu mulai membanting arah meninggalkan atap tersebut dengan tangga tali yang masih menjuntai ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto : Perang Dunia Zombie 4 (PDZ4)
Fiksi Penggemar[END] Tamat 19 Agustus 2021. Cerita dari November 2020. Ketika terjadi sebuah insiden mengerikan di sekolah yang mampu membunuhmu tanpa belas kasihan, apa yang akan kau lakukan? Lari untuk bertahan hidup, atau mati menjadi mayat hidup! Bersama sisa...