Mansion of the Dead

178 32 1
                                    

"Ne... Naruto-kun... Apa aku boleh bercerita tentang sesuatu..?"

"Hm..? Ceritakan saja. Aku akan mendengarnya. Kurasa itu lebih baik dari pasa mendengarkan pelajaran dari Kakashi-sensei.

Hinata tertawa kecil mendengar keluh kesah pemuda kuning yang sedang berbaring di rerumputan. Pemuda itu tidur tepat di sampingnya uang bersandar di sebuah pohon dengan mata yang terpejam sambil menaruh setangkai ilalang di dalam mulutnya.

"Aku melihat sepasang burung kecil saat pulang sekolah tadi. Yang satu seperti terluka... Hingga membuatnya tidak bisa terbang tinggi. Dan yang satu lagi, kurasa ia bisa terbang jauh sesuka hatinya."

Hinata mulai bercerita. Tangannya terangkat, menerawang bagaimana rasanya bisa bebas terbang sesuka hati. Seperti burung yang sempat ia lihat tadi.

"Tapi ada sesuatu yang aneh..."

"Heh..? Aneh...?

Naruto bingung mendengar kata-kata Hinata. Hingga membuat manik birunya yang terpejam kini kembali terbuka. Untuk melirik gadis yang sedang duduk manis bersandar di sebuah pohon.

"Ya... Burung itu aneh... Kurasa dia bisa terbang kemana pun yang ia suka. Tapi kau tahu... Burung itu tidak terbang kemana pun. Ia hanya berputar-putar mengitari burung yang sedang terluka tadi. Aku merasa... Ia seperti sedang menghibur burung itu. Ia tidak meninggalkannya seperti burung-burung yang lain. Saat yang lain terbang jauh meninggalkannya, burung itu tetap setia menghiburnya."

Lanjut Hinata lagi meneruskan ceritanya.

"...Itu hal yang menakjubkan."

Naruto memberikan komentarnya tentang cerita Hinata. Tentang burung kecil itu.

"Ya... Burung itu menakjubkan... Seperti dirimu."

Ucap Hinata yang kini memalingkan pandangannya ke arah Naruto yang sedang mengunyah setangkai ilalang. Walau terselip satu makna kecil yang mungkin tidak akan pemuda itu sadari, namun ia lega bisa mengungkapkannya dengan berani. Rona merah tipis tergurat di kedua pipi putih mulusnya.

"Eh... Seperti diri-"

"Sudah waktunya anda untuk pulang, Nona Hinata."

Seorang pria berpakaian rapi menegur Hinata untuk segera pulang karena hari sudah semakin sore. Keberadaannya membuat kalimat Naruto terpotong. Pria yang tidak lain adalah supir pribadi Hinata membantunya untuk menaiki kursi roda. Naruto bangkit dari tidurnya, lalu mengambil posisi duduk melipat kedua kaki. Pria tersebut mendorong kursi roda Hinata untuk segera menuju ke mobil yang terparkir di depan taman ini. Akan tetapi sebelum jarak mereka berdua semakin jauh, Hinata menghentikan laju kursi rodanya.

"Aku berharap... Waktu-waktu menyenangkan seperti saat ini akan terulang lagi."

"Lagi dan lagi..."

Kata terakhir Hinata yang tersenyum sebelum kembali menuju mobil pribadi milik ayahnya.

Flashback End

.

.

.

.

.

Sona, Sasuke dan Kiba terlihat sedang duduk santai menikmati secangkir teh masing-masing. Di satu ruang yang berada di lantai dua mansion ini. Mencoba untuk bersantai sebisa mungkin melepas rasa otot yang tegang dari raga mereka. Jam tua di dinding dekat perapian menunjuk jarum ke angka 11. Pagi yang melelahkan segera berlalu pergi setelah menjadi pelarian para mayat hidup di tengah Kota.

"Apa pagar tua itu masih mampu diandalkan..?"

Tanya Sona membuka topik pembicaraan setelah sekian lama mereka ditelan suasana sunyi.

"Tenang dan santai saja di tempat dudukmu... Kau terlalu meremehkan pilihan keluargaku. Bahkan aku yakin kau sendiri tidak bisa meloncati pagar dinding villa ini."

Jawab Sasuke sinis mendengar pertanyaan Sona yang ragu akan kekuatan pagar besi villa ini. Sasuke cukup tersinggung dengan perkataan gadis itu. Karena villa, atau bisa juga disebut mansion ini, dibangun dengan rancangan arsitektur tinggi. Dan didukung dengan pagar batu setinggi hampir mencapai 2 meter yang mengelilingi mansion megah ini.

"...Kuharap kau bisa menjamin itu."

Balas Sona yang juga dengan nada sinis membalas kalimat pedas Sasuke.

"Semua ini sungguh melelahkan..."

Kiba merengut memandang teh yang sedang berputar di dalam cangkirnya. Rasa lelah yang bukan dari fisik saja, melainkan rasa lelah yang juga menyerang mental pasti di rasakan oleh semuanya. Termasuk dirinya sendiri. Masih terbayang jelas di pikirannya kejadian pagi tadi, yang hampir merenggut nyawa Hinata. Sungguh... Ia tidak mau itu terjadi untuk yang kedua kalinya lagi. Nyawa mereka benar-benar telah dipemainkan.

"Yahh... Setidaknya kita aman di sini untuk beberapa saat."

Lanjutnya lagi sambil meneguk teh itu.




"Kau tahu... Aku melihat sesuatu yang lain dari dirimu."

"Sesuatu... Yang lain?"

Anko bersama Naruto sedang menikmati angin yang berhembus di luar jendela. Bersandar pada sisi jendela, mereka memandang padang rumput dan jalan setapak di kejauhan. Termasuk beberapa mayat hidup yang tergeletak di kejauhan sana.

"Kini kau terlihat semakin... Dewasa. Dan aku senang menyadari akan hal itu."

Ucap Anko lagi menilik sifat dan sikap Naruto yang perlahan kini mulai berubah. Entah itu pujian atau bukan, namun mendengar hal tersebut, membuat Naruto tidak mampu berkata apa pun.

"Entah... Sampai kapan kengerian ini akan berlanjut."

Ungkap isi hati Naruto. Melayangkan sebuah pertanyaan yang entah siapa yang bisa menjawab.

"Aku berharap ini akan segera berakhir. Aku ingin segera mengajar di kelas kembali..."

Anko juga mengutarakan harapnya. Memandang langit biru yang tercampur oleh awan. Sesaat pandangannya menerawang ke atas, lalu ternyum lembut ke arah pemuda bersurai kuning di sampingnya.

"...Dan kau bisa menjadi murid kesayanganku kembali."

Blush...

Naruto tidak berkutik. Gurat merah tipis muncul seketika di wajahnya. Satu ungkapan yang begitu terbuka dari Anko kepada dirinya, membuat ia merasa senang. Naruto memalingkan wajahnya kembali menatap angin semu. Tidak bisa ia berlama-lama menatap senyuman itu. Senyuman seorang guru yang selalu mengomelinya setiap saat ketika berada di sekolah.

"Kurasa kau harus menghiburnya saat ini, Namikaze-kun."

Ucap Anko yang tetap menatap wajah muridnya itu dari samping. Naruto hanya diam tidak menjawab. Ia tahu siapa yang Anko-sensei maksud.

"...Kurasa... Aku tidak tahu caranya..."

"Tentu saja kau tahu. Karena... Kau punya banyak cara untuk menghiburnya, seperti kau punya banyak cara untuk membuat keonaran di sekolah."

Jawab Anko memberi dorongan kepada murid di sebelahnya yang sedang lelah itu.

"Jangan sia-siakan waktu ini, Namikaze-kun. Kita tidak akan bisa merasakan ketentraman ini untuk lebih lama lagi. Inilah kesempatanmu, untuk lebih dekat dengannya."

Lanjut Anko lagi. Tentu apa yang dikatakannya benar. Tidak ada siapa pun di antara mereka yang tahu bahaya seperti apa yang akan datang. Naruto menegakkan tubuhnya yang tadi bungkuk bersandar pada sisi jendela. Ia melihat Anko sekilas, lalu mengangguk sekali tanda mengerti.

Naruto : Perang Dunia Zombie 4 (PDZ4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang