SALAH PAHAM LAGI

4.7K 405 32
                                    

Sudah hampir tiga hari semenjak Vano menembak Lidya, bermaksud menjadikannya sebagai seorang pacar. Entah mengapa hal ini selalu menjadi pikiran sulit serta bingung harus mengatakan apa nantinya. Lidya memang suka pada Vano, tapi hanya sebatas teman dan tak lebih. Kalau pun lebih, palingan sekedar mengagumi saja.

Misalnya dia menerima cinta pria itu, maka salah satu temannya telah dikecewakan. Tapi kalau menolak, maka dia telah membuat Vano kecewa dan takutnya, adik bosnya itu akan membenci dirinya. Situasi seperti ini benar-benar membuatnya pusing dari siang sampai malam.

Lidya termenung di atas ranjang empuknya sambil memainkan boneka yang selalu menjadi teman tidurnya sejak lama.

Tok! Tok! Tok!

"Lidya, kita makan malam, yuk. Ayah udah nungguin kamu," ajak bundanya.

"Iya bunda," balas Lidya.

Gadis itu segera beranjak dari ranjangnya mengikuti sang ibu tercinta dari belakang. Di meja makan sudah tersusun berbagai macam jenis masakan paling enak di dunia, yaitu masakan bundanya. Sang ayah juga sudah duduk manis menunggu kedatangan istri dan putri semata wayang keluarga ini.

"Lama banget sih kamu, ayah udah kelaparan gara-gara gadis yang nakal ini," canda ayahnya.

"Maaf yah, aku cuma pusing aja mikirin masalah kerjaan." Lidya duduk di sebelah ayahnya.

"Kenapa? Kamu ada masalah ya, di kantor?" tanya sang ayah.

Lidya tersenyum "Cuma dikit kok."

Lebih tepatnya anakmu ini sedang ada masalah besar dengan si bos setan, batin Lidya.

Kepala keluarga itu mengangguk.
"Yang namanya kerjaan ya, emang gitu. Pasti ada senang dan ada susahnya. Tapi kita harus selalu positif thinking karena apa yang kita jalani sekarang adalah cobaan."

"Anak ayah kan orangnya pantang menyerah, selalu ceria dan selalu menjadi kebanggaan keluarga kita."

Semangat dan dukungan dari keluarga tercinta memang paling bisa menghilangkan semua masalah. Dalam keadaan suka mau pun duka, keluarga selalu ada untuk kita.

"Udah, nanti dulu ceritanya karena sekarang saatnya kita makan," ucap bundanya.

Keluarga beranggotakan tiga orang tersebut menikmati makan malam dengan tenang seperti biasanya. Di keluarga ini sangat dilarang makan sambil bicara, makanya sekarang sudah jadi kebiasaan.

"Jujur, ayah agak bosan kita selalu makan bertiga setiap harinya. Coba aja si gadis ini mau menikah, pasti tambah satu anggota baru," ucap ayahnya setelah selesai makan.

"Ayah, please deh gak usah mulai. Aku kan udah bilang kalau aku gak mau nikah sekarang. Lagian umur aku baru 23 tahun trus karirku juga masih panjang." Lidya mengerucutkan bibir mungilnya.

"Gapapa lah nak, justru ayah sama bunda seneng kamu mau nikah sekarang. Iya kan, yah?" wanita paruh baya ini melirik ke suaminya.

"Tentu. Ayah akan sangat bahagia menikahkan putri satu-satunya ayah dan berjabat tangan dengan calon menantu," balas sang ayah.

Pembahasan tentang inilah yang paling tidak disukai dan rasanya semakin menambah beban pikiran. Menikah itu belum pernah terlintas di kepala cantik Lidya. Calon saja dia tidak punya, gimana mau nikah?

"Kamu tau nggak, bagi seorang ayah menikahkan putrinya adalah hal yang paling sakral bercampur rasa bahagia. Memang berat, tapi saat melihat putrinya tersenyum pada sang suami sudah membuat ayah lebih bahagia dari segalanya."

"Saat calon suamimu mengucapkan 'saya terima nikah dan kawinnya' itu berarti dia siap bertanggung jawab atas kamu, membimbing kamu, dan menerima segala kekuranganmu. Saat kata 'sah' terdengar maka kamu telah menjadi miliknya untuk selamanya. Tugas dan tanggung jawab ayah sudah diserahkan sepenuhnya kepada suamimu dan dia lah yang akan menggantikan posisi ayah tersebut."

BOS BAR BARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang