Prolog

987 67 19
                                    

Langsung saja, semua ini berawal sejak gue menapaki diri mengikuti pelatihan JDP (Journalist Development Program) angkatan kesebelas. Di sebuah perusahaan media milik swasta bernama NewsdayTV. Kalimat selanjutnya agak mainstream, sih. Saat ini gue terburu-buru berjalan lantaran pukul 9 harus sudah berada dalam ruang pelatihan presenting.

Masih pagi, kemeja putih gue yang semalam habis dicuci Nyokap timbul lipatan acak alias lecek di area ujung lengan, akibat berdesakan antar penumpang selama perjalanan menggunakan KRL. Untunglah tatanan rambut gue tak berubah meski berkeringat pada bagian pelipis. Sepatu pantofel hitam juga tetap mengkilap. Menggantung di leher kartu identitas sementara yang terbuat dari kertas diwadahi plastik bening dan ditempel pas foto ukuran 4x6 bertalikan jenis kur warna hitam. Sudah persis seperti penampilan anak mahasiswa baru saja.

Dari arah berlawanan muncul seorang perempuan yang berlari. Buru-buru ia mengalungi kartu identitas dan kartu pembayaran digital. Selanjutnya kami menunggu di depan lift yang sama. Setelah masuk, gue yang hendak menekan tombol angka tiba-tiba dipanggilnya, "Mas, tolong lantai 14 ya."

"Lo anak training ya?" tanya gue berbasa-basi.

"Oh? Lo juga? Kelas Presenting?"

"Yup." gue mengangguk.

"Lo udah ngerjain voice over belom? Punya gue pake kehapus segala, nih." curhatnya tiba-tiba. Namun yang didapatinya hanya wajah datar gue, bingung dengan cara bicaranya yang terlalu cepat.

"Oh? Gue kecepetan ngomong ya? Duh sori." sadarnya.

"Nggak, nggak kok. Kok bisa hilang?" gue sebetulnya mendengar, hanya sedikit kaget saja dengan tingkahnya yang gue anggap tak biasa. Meski cara bicaranya cepat, namun artikulasinya masih jelas.

"Emang nih HP gue kayak bangke. Harusnya gue semalam record pake recorder aja." umpatnya kesal.

Pintu lift terbuka, gue dan perempuan ini masuk berbarengan menuju ruang pelatihan. Suasana sudah mulai ramai dengan para peserta lain yang menduduki kursi dengan tumpuan meja di atasnya. Pemandangan ini terasa seperti kembali saat masa-masa kuliah. "Nimas! Sini duduk, gue udah sediain kursi buat elo!" panggil salah seorang peserta laki-laki. Perempuan itu langsung menyapa dan menghampiri mereka untuk duduk bersama di deretan kursi depan.

Sedangkan kursi lain yang tersisa hanya satu di bagian pojok paling belakang. Itu satu-satunya pilihan terakhir gue untuk bisa duduk sebelum kelas dimulai. Kedatangan kami sejak awal juga sudah cukup menghebohkan karena gue yang dikenal peserta teladan—telat datang pulang duluan, tiba-tiba masuk berbarengan dengan sosok yang dipanggil Nimas-Nimas itu.

Bentuk wajah ovalnya seketika masuk dalam pandangan gue yang berjarak kurang lebih dua meter. Dengan tampilan riasan sederhana minimal lipstik tipis agar terlihat lebih segar. Rambutnya dicepol ke belakang dan sibuk menyeka bekas keringat yang menempel di sekitaran lehernya memakai tisu. Dia begitu mempesona di antara yang lainnya.

Fyi, anak itu memang terdengar cukup populer. Nimas Gheafinka nama lengkapnya kalau tidak salah.

Gue menyadari ini saat baru pertama kali berkesempatan satu kelas dengannya. Karena sebelum itu kami semua memasuki kelas yang berbeda-beda.

Kepopulerannya terlihat dari antusias peserta lain saat ia mendapat giliran maju untuk presentasi. Mempraktikkan membaca narasi berita dengan intonasi vokalnya yang terdengar bagus. Ia langsung dibanjiri pujian dan terkesima atas penampilannya. Rata-rata mereka mengenalnya sebagai "Nimas si Anak Emas" karena segudang prestasi yang dimiliki. Entah prestasi apa yang dimaksud, pengetahuan gue tentangnya hanya sebatas itu saja.

Selama dua bulan terakhir gue mengikuti pelatihan, namanya acap kali disebut sebagai contoh pembahasan para mentor di setiap kelas. Awalnya gue bersikap biasa saja hingga muncul rasa jengah. Namun saat melihatnya dengan mata kepala gue sendiri, apa yang sering dibicarakan mereka ternyata benar adanya. Nimas bukan seperti perempuan pada umumnya, dia benar-benar berbeda.

Mungkin gue belum tertarik padanya sekarang, tapi gak ada salahnya juga kan kalau gue menyelidiki informasi banyak tentangnya?


Kim Wonpil as
Dewantara Wiryawan

Kim Wonpil asDewantara Wiryawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

FAKTA :

- Sudah tidak pelupa, tapi pikun.
Nggak deng, dia sudah makin pandai dalam hal mengingat.

Mengingat mantan. Canda!

- Jiwa keponya semakin menjadi dan cerdik tambah suka geregetan.

- Anak kosan semenjak jadi reporter.

- Semua dianggap teman meski belum kenalan.

- Prinsip hidupnya : pelan tapi pasti.


Nimas Gheafinka

FAKTA :

- Berpenampilan tomboy dengan rambut yang suka dicepol ke atas.

- Mantan pebasket di SMA,
tinggi 168 cm.

- Sama seperti Wawan, lulusan S1 Jurnalistik.

- Bukan cerewet, ia memang selalu cepat saat berbicara.

- Gak suka lelet.







-----------------------------------------------------------

Say hello to Nimas Gheafinka, semoga betah ya sama Wawan. Hihi.

Finally ada cerita baru di Bulan Maret! 🎉🎉🎉

Waktunya Dewantara Wiryawan as MAIN CAST!

Semoga update-nya lancar + bantu ramaikan yaa! Hehe

Oh iya, ini kemungkinan Radio cs kebagian part tapi keciiiiil sekali. Sepertinya 90% cerita ini akan berfokus ke Wawan & Nimas. Yang sayang sama Wawan mah pasti oke-oke aja kan? Hehe.

[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang