Aleta
Life is so unfair.
Ketika lo mengira lo sudah susah payah untuk melakukan yang terbaik, terkadang hidup malah menertawakan lo dan dengan mudah memutar balikan ekspektasi yang lo bangun sepanjang lo berusaha. Gue selalu percaya apa yang pernah gue lakukan itulah yang akan kembali pada gue. Tapi hidup begitu tidak adil. How many times should I pay for my mistakes to finally be happy?
''you don't love me aymore?'' instead of telling him I love him, gue malah menanyakan hal yang sudah jelas gue tau jawabannya.
''what?''
''you don't love me'' Kenapa gue begitu bodoh?
''i love you, let. always. gue... gue sayang sama lo...''
''...I just... don't think I can handle this feeling anymore''
It was hurt like hell. Perasaannya pada gue sudah berakhir, dan gue harus menerima kenyataan itu.
Pada satu sisi, gue merasa lega gue nggak pernah menyatakan perasaan gue padanya. namun di sisi lain, hati gue hancur. Gue memang terlampau bodoh, setidaknya gue harus melihat bagaimana reaksinya ketika gue menyatakan perasaan gue padanya. setidaknya, gue mungkin akan punya kesempatan lain jika Ia tau bagaimana perasaan gue padanya. Tapi saat itu, dengan bodohnya gue malah berbalik, meninggalkannya tanpa kata.
Kebodohan lain yang gue lakukan adalah gue memblokir nomornya, mengabaikan keberadaannya demi terus menyembunyikan perasaan ini dalam tempat gelap berharap nantinya perasaan itu hilang dengan sendirinya.
Life is so unfair. Yet I can't do anything but keep going.
Hari itu hujan nggak berhenti turun, suasana gloomy menemani gue untuk mengerjakan revisi tugas dari Pak Benu yang harus di kumpulkan besok. ini adalah revisi ke lima yang gue kerjakan setelah kemarin gue menangis seharian karena laporan gue masih saja ditolak oleh pak Benu. This assignment almost killing me, tapi gue bahkan merasa gue nggak berhak untuk mengeluh karena, bagaimanapun penyebab gue nggak lolos mata kuliah ini pada semester ganjil lalu adalah gue sendiri.
Tapi tetap aja, berapa kali lagi gue harus revisi tugas demi lolos mata kuliah ini agar gue bisa fokus sama skripsi gue? berapa kali lagi gue harus membayar semua kesalahan gue demi mencapai satu perasaan yang sudah lama nggak gue rasakan.
Satu aja, gue cuma pengen merasa lega.
Tugas ini begitu membebani pikiran sampai gue nggak bisa beralih dari kertas folio, penggaris, dan pena. gue bahkan nggak sempat beranjak barang sebentar untuk setidaknya merebus indomie di dapur lalu makan dan menyelamatkan perut gue yang kosong dari semalam.
Beberapa jam berlalu dan akhirnya tugas itu selesai juga. gue menghembuskan nafas lega yang begitu panjang, sampai sedetik kemudian bagian perut sebelah kiri gue terasa nyeri sampai ke ulu hati. ah ya, gue belum makan seharian magh gue pasti kambuh. Rasanya tuh kayak ada sesuatu dari dalam yang menusuk gue. Untung ya rasa sakit ini datang baru sekarang, bukan tadi waktu gue belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selenelion
FanfictionAlet dan Rendra seperti matahari dan bulan. Ketika matahari mulai terbit, bulan meninggalkan langit. Ketika bulan datang menerangi malam, matahari harus tenggelam. Tidak pernah bertemu di waktu yang sama. Ini tentang pencarian sebua...