24. LDR Stages

7 1 0
                                    

Rendra

Satu hal yang gue takutkan ketika  Aleta mengizinkan gue untuk mencium bibirnya pagi it, adalah perpisahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu hal yang gue takutkan ketika Aleta mengizinkan gue untuk mencium bibirnya pagi it, adalah perpisahan. Gue sadar kalau LDR (Long Distance Relationship) nggak akan jadi hal yang mudah, apalagi kita baru saja jadian sehari. rasanya nggak ada cukup waktu untuk sekedar membuat memori sebelum kita terpisah jarak dua benua, tapi gue bisa apa?

Pada awalnya, semua berjalan lancar dan terasa baik-baik saja hingga setelah satu tahun kita tidak pernah bertatap muka secara langsung, akhirnya kita putus juga.

well, gue nggak bisa bilang kita benar-benar resmi putus karena saat itu keadaan begitu runyam dan nggak ada satupun dari kita yang mau mengalah. Aleta marah, sedangkan gue sudah capek menjelaskan. nggak ada kata putus yang keluar, tapi kita berdua seakan sama-sama menjauh dan nggak punya niat untuk berbaikan.

Kata orang, 99% orang yang menjalani LDR pasti akan berakhir mengenaskan. Gue paham kenapa LDR nggak pernah jadi pilihan, karena ya memang kenyataannya LDR nggak semudah itu. menurut pengalaman gue setelah menjalani LDR selama satu tahun, ada setidaknya 7 stage yang harus lo hadapi.

Stage pertama dan kedua : decission dan Parting. dalam kasus gue, stage ini gue dan Alet lewati dengan sangat cepat, karena baru sehari kita jadian besoknya udah LDR-an. Dia nggak bisa mendebat keputusan gue karena dia sendiri yang encourage gue untuk daftar S2 di Jerman. Dan lagi, masa iya gue harus batalin semuanya hanya karena gue nggak mau LDR sama pacar gue? kalau gue sebar angket ke seluruh makhluk di bumi ,mungkin mereka juga akan punya jawaban yang sama seperti gue, yaitu enggak.

Stage ketiga : Transition. Meskipun baru jadian sehari, kita sudah terbiasa selalu sama-sama selama seumur hidup mengingat kita tetanggaan sejak lahir. Ada masa transisi yang membuat gue dan Alet harus menyesuaikan diri dengan ngobrol dan chat via online. Gue kira dengan kita punya jadwal quality time untuk video call bareng, selalu mengabari satu sama lain meskipun belum sempat chatting dengan intens, akan membuat hubungan kita baik-baik saja. Awalnya gue denial dengan pikiran gue yang merasa kalau video call dan chatting nggak cukup karena kehadirannya nggak ada disini. tapi lama kelamaan, jadwal quality time kita berubah karena kesibukan masing-masing yang nggak bisa disesuaikan. belum lagi time zone yang berbeda, yang bikin kita makin struggle karena nggak pernah ketemu di waktu yang tepat.

Pernah satu waktu, kita diem-dieman gara-gara hal ini,

Waktu itu sudah hampir tiga hari Aleta nggak menghubungi gue. Pesan WhatsApp yang gue kirim kemarin sore dan tadi pagi masih dalam kondisi centang dua dan belum terbaca. gue bisa saja menghubungi Jeno atau Echan untuk menanyakan tentang Aleta, tapi gue nggak mau aja mereka terlalu berperan dalam hubungan gue dan Alet, terutama Echan yang pasti bakal kepo dan cari tahu sampai kekepoan-nya terpenuhi. ada banyak asumsi dalam otak gue yang dari kemarin gue susun sendiri, apakah Alet sengaja melakukan ini untuk membuat gue marah? atau mungkin dia sedang sibuk karena tengah mempersiapkan project barunya di kantor? Tapi kenapa dia nggak cerita ke gue?

SelenelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang