BAB I - Hukuman

393 52 4
                                    

Hai, namaku Mikha. Mikhail Hakiki. Di tahun ajaran baru 2012/2013 ini, aku resmi jadi siswa kelas XI SMA Persada Khatulistiwa. Aku anak yang biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial dalam diriku. Aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran, juga tidak jago dalam olahraga maupun kesenian. Tapi aku juga tidak sebodoh itu. Setidaknya aku tidak pernah berada di 10 besar peringkat terakhir.

Hidupku awalnya baik-baik saja tanpa masalah apapun. Namun hari ini, tiba-tiba saja kedamaian itu hilang. Catatan baik selama 16 tahun hidupku harus ternoda dengan dibawanya aku ke ruang Bimbingan Konseling.

“Masuk!” seru pak Kamto keras, guru olahraga yang merangkap kedisiplinan. Aku dan ketiga temanku masuk berbaris seperti odong-odong dengan lutut lemas dan kepala menunduk. Bagaimana tidak lemas, kami baru saja dihukum berdiri di depan tiang bendera selama dua jam!

“Bu Ita,” suara pak Kamto tiba-tiba berubah lembut dan sedikit genit ketika berbicara dengan guru BK. “Ini, bu, saya berhasil menangkap empat berandal sekolah.”

Bu Ita masih muda. Kalau dilihat dari wajahnya, seperti baru 24 tahun. Aku kurang begitu tau karena aku tidak pernah berurusan dengan guru apapun, apalagi guru BK. Konon katanya, ruangan ini langganan murid-murid nakal. Aku jauh dari kata itu!

Bu Ita melirik jam tangannya sekilas, lalu kembali menatap pak Kamto. “Kali ini kenapa lagi, pak? Kok sepertinya setiap hari ada saja murid yang bapak bawa ke ruangan ini. Apakah semua murid SMA Persada Khatulistiwa itu berandal?”

 “Eee... Nganu, bu... Duh, apa saya harus jujur, bilang saya nangkap anak-anak bandel ini supaya bisa ketemu ibu?” Pak Kamto terlihat salah tingkah. “Eh, keceplosan!”

Aku dan ketiga temanku saling berpandangan heran. Selama ini Pak Kamto identik dengan sosok yang kejam dan menyeramkan seperti singa buas yang siap menerkam kami, siswa yang imut dan polos bagai anak kelinci. Kesalahan sekecil apapun selalu berhasil ia endus. Bagaimana mungkin singa buas itu tiba-tiba berubah jadi kucing manja saat berhadapan dengan Bu Ita? Mending kalo kucing, masih kelihatan lucu. Kalo ini sih, menjijikkan!

Ehm!

Bu Ita berdeham lalu sedikit menepuk dadanya dan segera mengambil air pada botol plastik diatas mejanya. Botol plastik Bu Ita sama persis seperti botol minumku yang pernah tanpa sengaja ketinggalan di sekolah. Gara-gara botol itu, ibu marah dan tidak memberiku uang saku selama dua minggu. Memang apa spesialnya sih botol bertuliskan tupperware itu sampai sebegitunya digandrungi perempuan?

“Terima kasih atas kerja keras Pak Kamto mendisiplinkan murid-murid,” ujar Bu Ita. “Sekarang, bapak bisa kembali ke ruangan bapak. Biar saya yang mengurus anak-anak ini.”

“Ooo tidak bisa!”, sanggah Pak Kamto. “Kesalahan mereka kali ini sangat fatal. Saya tidak akan membiarkan mereka begitu saja bersama Bu Ita. Saya juga harus memastikan mereka  hukuman yang pantas!”

Pak Kamto menyeringai menatap kami berempat. Ia kembali menjadi singa buas yang menyeramkan. Hilang sudah gelagat kucing yang menjijikkan tadi. Rasanya aku berharap bisa berubah jadi semut saja, supaya bisa kabur kearahnya dan menggigit kokleanya!

Dia sudah menghukum kami berempat berdiri di depan tiang bendera selama dua jam. Apa itu masih belum cukup? Rasanya kesalahan kami bahkan tidak sebanding dengan hukumannya!

“Saya minta mereka berempat dihukum membersihkan WC siswa selama sebulan penuh!” kata Pak Kamto tegas memberi ultimatum. Suaranya menggelegar tanpa getar keraguan. Aku menelan ludah. Pasrah.

“Sebentar, Pak. Kan bapak masih belum menjelaskan pada saya, apa sebenarnya kesalahan keempat murid ini?” sanggah Bu Ita.

“Mereka berempat tertangkap basah sedang berjudi, minum miras dan merokok di kantin belakang sekolah saat upacara bendera!” Pak Kamto memandang bengis ke arah kami berempat. Aku menelan ludah. Ingin membela diri, tapi suaraku cekat.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang