Bunda

245 47 0
                                    

Perth memasuki tempat tinggalnya. Sebuah kamar kost yang tak terlalu luas dan tidak juga sempit. Hanya terdapat tiga ruangan disana, kamar tidur dan dapur kecil, lalu ada kamar mandi. Suasana sepi menyambut nya begitu Perth membuka pintu kamarnya.

"Perth pulang," ucapnya pelan. Ia memang selalu mengucapkan salam ketika pulang dari bepergian, padahal dia tinggal sendirian tapi ia tetap mengucapkan salam itu.

Perth melepas hoodie nya untuk di gantung, lalu melepas sepatunya dan menyambar handuk kecil untuk membersihkan dirinya di kamar mandi.

Membuka pakaiannya, Perth menatap tubuhnya yang dipenuhi oleh luka sayatan, luka yang ia buat sendiri untuk menyalurkan rasa sakitnya. Inilah kebiasaan buruknya, menjadi pengidap selfharm. Mata beningnya kemudian berpindah menatap balutan perban di tangan kanannya, hanya itu luka yang bukan di sebabkan oleh dirinya. Itu adalah luka dari kejahatan orang-orang yang membully nya di sekolah.

Perth meremas pelan. Ia kembali mengingat sosok Mark. Sosok pahlawan yang sudah tiga hari berturut-turut ini selalu datang menolong nya dari bully-an orang-orang.

"Makasih tuhan, sepertinya Mark nggak sama kayak yang lain. Dia baik." Perth tersenyum setelahnya, lalu membuka perban itu untuk mengganti dengan yang baru.

Selesai membersihkan diri Perth berjalan ke ranjang. Duduk di sisi ranjang, tangannya membuka laci di nakas, mengambil sebuah kotak kecil berwarna putih lalu membukanya.

Sebuah kalung berbandul hati itu diambil dari dalam kotak. Perth membuka bandul kalung tersebut, di dalamnya terdapat tulisan bunda❤️perth . Perth tersenyum getir, ia menggenggam kalung tersebut lalu menunduk dalam.

Kalung itu satu-satunya peninggalan Maenya, sesuatu yang membuat Perth  yakin bahwa bunda nya memang menyayangi nya. Perth tidak pernah marah kepada orangtuanya karena sudah meninggalkan Perth seorang diri, dengan bukti peninggalan kalung cantik itu Perth yakin Maenya meninggalkan nya mungkin bukan suatu keinginan nya.

Kalau bukan karena terpaksa, mungkin memang tuhan telah mengambilnya dari Perth. Perth hanya berharap dimana pun orangtuanya berada, semoga mereka selalu di tempat terbaik.

Perth sendiri memiliki alasan kenapa ia menyimpan kalung nya, karena ia yakin benda berharga itu akan jadi sasaran para pembully nya jika mengetahui kalung itu. Maka dari itu Perth menyimpan nya saja di rumah.

"Perth kangen bunda." Lirih Perth dengan nada bergetar. Setitik air mata jatuh dari netra bening nya.

"Tuhan, kalau bunda masih hidup, tolong ijinkan Perth ketemu sama bunda." Perth  mengambil nafas sejenak, "Tapi, kalau bunda udah sama tuhan disana, tolong sayangi bunda ya. Perth sayang bunda."

🐯🐯🐯

"Mark, Phi mu mana kok belum turun. Apa asma nya belum membaik?" tanya Sang Mae khawatir pada Mark yang sudah duduk di meja makan, namun anak sulungnya itu tak terlihat.

"Nggak tau, Mae. Masih dikamar mungkin."

"Kamu panggil gih ajak sarapan. Sekalian cek kondisi nya."
Mark menurut tanpa protes, ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar Bright. Meski ia tau dirinya akan diusir mentah-mentah oleh sang Phi, namun Mark tetap memaksa masuk.

Ceklek~

Mark membuka pintu kamar Bright, Phinya terlihat sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
"Ngapain lo?" tanya Bright sinis.

"Asma lo udah baik?" tanya Mark memastikan.

"Nggak usah sok--"

"Gue nanya." potong Mark cepat.

Bright mendengus sinis, mengancingkan kancing baju terakhir sebelum menyisakan satu kancing paling atas. "Lo bisa liat sendiri."

Mark mengangguk paham, "Cepet turun, Mae ajak sarapan bersama."

"Ya."

Setelah jawaban ketus itu, Mark kembali turun ke bawah untuk sarapan. Tak lama kemudian disusul Bright yang bergabung ke meja makan.

Suasana sarapan pagi begitu tenang tak ada yang membuka suara sebelum sang kepala keluarga melontarkan pertanyaan mengejutkan.

"Pho denger kalian berantem kemaren. Apa bener itu." tanya sang Pho menatap kedua putranya secara bergantian.

Mark dan Bright yang sedang mengunyah makanannya pun berhenti seketika. Ekspresi wajahnya berubah tak dapat diartikan.

"Itu.."

"Muka kalian juga sama sama luka." tambah sang Pho lagi, matanya melihat luka lebam di kedua putranya yang berangsur membaik.

Keduanya masih terdiam tak ada yang menjawab pertanyaan Phonya, Bright meletakan sendok dan garpu nya dengan bunyi prang nyaring, lalu bangkit dari duduknya.

Keduanya masih terdiam tak ada yang menjawab pertanyaan Phonya, Bright meletakan sendok dan garpu nya dengan bunyi prang nyaring, lalu bangkit dari duduknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bright selesai." Lalu menyambar tasnya, namun sang ayah kembali menahannya.

"Apa ini caramu menanggapi Pho yang sedang bicara?"

Bright mengembuskan nafas lelah, lalu kembali duduk. "Oke. Pho bisa tanya sama Mark."

Mark tersentak kecil saat Phinya justru membebankan pertanyaan itu kepadanya, padahal jelas-jelas Bright yang membuat masalah.

"Mark." tegur sang Pho

"Itu, cuma salah paham aja kok, Pho." Jawab Mark ragu. Bright mendengus mendengar jawaban Mark yang jelas bohong.

"Salah paham? Bilang, siapa yang memicu lebih dulu kalian berkelahi, biar Pho kirim ke luar negeri."

"Beneran salah paham Pho," kekeuh Bright. Ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya karena ayahnya pasti akan mengirim Bright ke sekolah luar negeri. Bright jelas tidak mau.

"Beneran?"

"Iyaa."

"Pho gak suka kalian berantem, kalian itu saudara sudah seharusnya rukun. Jangan diulangi lagi," final sang Pho kemudian melanjutkan sarapan nya.

Mark mengangguk patuh, sedangkan Bright kini bangkit dari duduknya kembali dan segera berangkat ke sekolah tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mae nya menggeleng maklum, anak sulungnya itu memang berkepribadian dingin, jadi maklumi saja.

Tak lama kemudian disusul Mark yang menyelesaikan sarapannya dan berpamitan dengan kedua orangtuanya lalu berangkat.

🐯🐯🐯

Jangan lupa vote+coment nya na😁

PERTH TANAPONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang