Takdir Terakhir

511 103 169
                                    

Untukmu, rajaku.

Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa dibawah naungan asa.

Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?

Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku ingin sekali menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.


Untukmu, rajaku.

Aku tahu, aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.

Tapi aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat aku membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.


Untukmu, rajaku.

Pada akhirnya—semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri dibaris kematian bersama keputus-asaan. Inilah saat yang paling menyedihkan saat aku harus terpisah darimu selamanya.

Tubuhku telah membeku, berhentilah menghujaniku dengan kepedihan dan air mata. Kau takan lagi mencintaiku, jadi—lepaskan segala luka dan nestapa yang masih kau genggam. Bukankah, sudah seharusnya kita sama-sama rela?


Untukmu, rajaku.

Jika suatu hari nanti kita bertemu lagi di masa yang berbeda, sapalah aku meskipun perasaan itu tak pernah ada di hatimu. Dan mari, kita lupakan kenangan kita di kehidupan ini.

.

.

Udara begitu dingin namun aku tahu aku telah mati. Aku juga seperti kehilangan jati diriku bersama hembusan angin. Diriku seperti terombang-ambing di tengah udara yang kelabu sendu. Rintik putih itu—aku tak pernah melupakannya, dimana tubuh bekuku di peluk erat dengan hangat.

Jujur, aku tak tahu bagaimana rupaku saat ini, tapi aku bisa melihat semua pemandangan yang terjadi di sekitarku. Aku masih melihat sosoknya yang masih memeluk erat tubuhku dengan posesif sambil berkuda, entah kemana ia akan membawaku.

Wajahnya dipenuhi penyesalan dan kepedihan saat ia menembus badai salju. Uap putih menguar dari napasnya yang sedikit terengah, tanpa pakaian hangat sedikitpun. Aku tahu dia begitu kedinginan, namun ia tetap merengkuh tubuhku dengan menyedihkan.

Hingga pada akhirnya, ia berhenti di tepi tebing curam dan bernaung di bawah pohon rindang yang dingin. Ditatapnya pemandangan air laut di bawahnya lalu terduduk bersandar di batang pohon dan membaringkan tubuhku dalam pangkuannya tanpa melepas dekapannya.

"Setelah kau tiada, seharusnya aku akan segera menyusulmu, tapi aku tak tahu kapan itu terjadi. Jadi—" Ia membelai wajahku yang kini sepucat kapas. "Aku akan menghabiskan waktuku bersamamu, bahkan jika kau harus menjadi belulang lebih dulu. Aku akan terus memelukmu seperti ini."

Azura kembali menangis lalu menciumku lagi, sementara aku hanya terdiam dengan sedih. Penampilannya benar-benar tak layak dengan rambut acak-acakan dan pakaian yang berantakan. Ia mulai bersenandung lirih penuh duka.

Rasa ingin mendekapnya begitu kuat, namun aku sadar bahwa aku yang kini duduk di sisinya takan mampu menembus batas perbedaan di antara kami. Aku—tak bisa menyentuh apapun.

SelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang