Aku duduk bersila di teras balkon utama untuk menikmati mentari pagi. Udara lembut menyapa, meniupkan sejuta ketenangan dalam benakku. Aroma pepohonan dan juga air laut membangkitkan imajinasiku akan dunia yang terbentang luas tak terbatas.
Namun pikiranku terusik lebih cepat, bayangan kemarin malam masih menjelma layaknya bingkai baru yang sulit kuhempas. Untuk ketiga kalinya aku bangun tanpa busana. Pergelanganku masih sedikit nyeri akibat terikat. Malam itu, Azura benar-benar menyiksaku seperti orang gila. Ia melampiaskan hasratnya penuh emosi, membuat tubuhku ambruk seharian.
Bukan hanya itu, sudah hampir dua hari ini surat yang kukirim belum dibalas sama sekali. Apa ayah menyebalkan itu benar-benar sudah melupakanku? Yah, aku sadar kalau aku sempat membuat masalah sebelum pergi, tapi setidaknya—tolong balas suratku agar aku bisa tenang.
"Yang mulia, sarapan sudah siap," ujar Loretta mengakhiri ritual pagiku.
Loretta membereskan peralatanku sementara aku menuruni tangga menuju ruang makan. Di sana sudah ada Azura dengan perkamen kecilnya. Ia menatapku setelah mendengar langkah kakiku.
"Sudah bisa bangun dari tempat tidur rupanya," ujarnya tersenyum miring.
Aku hanya terdiam dengan wajah datar kemudian duduk di kursiku.
Azura meletakkan perkamennya lalu mengambil sepotong roti dan menyiramkan vla coklat diatasnya. "Meskipun kau tampak tak menyukainya, tapi aku yakin kau menikmatinya."
"Tolong jangan bahas itu," sahutku enggan.
"Kenapa? Kau malu?" nyinyirnya menyeringai. "Ternyata kau lebih menyenangkan dari yang kukira."
"Dan ternyata kau lebih menyebalkan dari yang kukira," balasku lalu menjejalkan sup ke mulut.
Azura mendengus tertawa. "Menarik."
Aku menikmati sup ku tanpa menjawab. Kami menikmati hidangan dalam diam dengan pikiran masing-masing.
"Yang mulia, ada surat dari Axylon untuk anda," kata Loretta sambil membawa sebuah gulungan perkamen.
"Letakkan di kamarku," sahutku.
Aku segera menghabiskan makanan secepat mungkin karena sudah tak sabar untuk membacanya. Itu mungkin surat dari ayah.
"Kau terlihat senang sekali mendapat kiriman dari Axylon, seperti mendapat surat cinta dari pacar."
"Tentu saja. Sepertinya itu kiriman dari ayahku," jawabku lalu meneguk minuman dengan terburu-buru.
"Apa itu?" Azura terlihat penasaran.
"Maaf, tapi ini rahasia antara ayah dengan anak perempuannya." Aku berdiri dari kursiku. "Aku pergi dulu. Dah!"
Aku segera menaiki tangga menuju kamar dan meninggalkan Azura yang mungkin—sedang kebingungan di meja makan.
Aku membuka perkamen itu dengan riang dan—yah, kemudian terdiam setelah mengetahui panjang perkamen itu mencapai satu meter.
"Yang benar saja! Dia menulis surat sepanjang ini?" makiku tak percaya.
Aku terduduk ditempat tidur dengan lunglai lalu menggulung bagian bawah perkamen dan mulai membacanya perlahan dengan tenang.
Untuk putri kurang ajarku tersayang, Selena.
Ayah sudah menerima suratmu dan jujur, ayah senang sekali. Kau tahu? Sejak kau pergi, tak ada lagi yang bisa kutindas di meja makan. Ah ayah tahu, saat kau menulis surat untukku kau pasti sudah tidur dengan pangeran sialan itu kan? Sedih rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena
FantasySangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Untuk menghindari kebingungan para pembaca yang membuka kisah ini. Awalnya Selena mengira dirinya adal...