Kepergian Sang Raja

466 113 126
                                    

Aku menyeruput teh sambil duduk meringkuk berselimut. Tubuhku masih menggigil ketakutan akibat serangan sihir yang tadi pagi kualami. Hal itu membuatku trauma dengan buku-buku sihir yang sengaja kusembunyikan.

Kuraih kotak perhiasan Amethyst tak jauh dariku, kemudian membukanya. Dia bilang jiwanya berpindah ke salah satu perhiasan ini, tapi—yang mana?

Tak lama, salah satu diantaranya bersinar seolah-olah ia menunjukkan posisinya. Kuraih cincin Amethyst yang terselip di sudut kotak lalu memakainya. Pendaran pada batu Amethyst nya mulai meredup perlahan dan tenang.

"Istirahatlah. Maaf sudah merepotkanmu," bisikku pada penunggu cincin di jemariku.

"Yang mulia, anda baik-baik saja?" Loretta membawakan sepiring kue kering yang tampak hambar di mataku, meskipun aku tahu kue itu rasanya enak.

"Aku hanya ingin istirahat," sahutku. "Kau juga sebaiknya istirahat."

Ia hanya mengangguk lesu kemudian meninggalkanku di kamar sendirian. Aku menghela napas dan mencoba untuk terbaring dengan tenang. Meskipun Azura memaksaku untuk bercerita tapi aku benar-benar tak bisa menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu dia mungkin kecewa karena sampai sekarang aku tak mau bersuara soal penyihir itu.

Kupejamkan mata di ambang lelahku, berharap hari ini ketakutan ku cepat berlalu. Entah berapa lama aku terlelap, mataku kembali terbuka dan kamarku menjadi gelap. Jendela kamarku terbuka lebar dengan gemuruh angin di luar sana.

Aku bangkit dari pembaringan ku bermaksud untuk menutup jendela, namun mataku terbelalak ketika di depan jendela itu sudah ada portal hitam melayang di udara. Tubuhku kembali gemetar ketakutan mengingat kemana portal itu membawaku pergi.

Napas ku tercekat ketika sebuah tangan muncul dari sana dan menarik ku masuk. Kejadiannya begitu cepat dan kini tubuhku terlempar dan mendarat di lantai dengan cara yang menyakitkan.

Suara dentingan pedang menggema di sekitarku ketika aku mengangkat kepala. Kulihat sekelompok orang sedang bertarung melawan satu orang—yang kukenal. Orang-orang itu memakai atribut Vainea namun ada aura sihir menyelimuti tubuh mereka.

"Ayah?" Mataku melebar ketika tahu siapa yang mereka serang. "Ayah!"

Tak ada yang mendengar suaraku, bahkan ketika aku menerobos mereka, tubuhku seperti menembus sesuatu seolah-olah kejadian di depanku bukanlah hal nyata. Aku tak bisa menyentuh apapun layaknya roh yang hanya bersinggah di suatu tempat.

Aku hanya terdiam dengan apa yang terjadi di sekitarku. Mataku tak sengaja melihat sosok tuan Aleea berdiri disalah satu sudut gelap dengan pendaran sihir yang menyelimuti benda di tangannya.

Satu persatu mereka tumbang di tangan ayah, namun tak lama sebuah cahaya melesat menuju kearahnya.

"Belati itu..."

Aku segera berlari bermaksud agar belati itu tak mengenainya, namun belati itu menembus tubuhku begitu mudah seperti menembus angin, suara erangan keras di belakangku mengoyak udara. Belati itu—benar-benar mengenainya.

"Aleea," desisnya sambil menopang tubuhnya yang bertekuk lutut dengan pedangnya.

"Zealda." Penyihir itu muncul sambil tersenyum miring. "Sudah lama sekali aku menantikan kematianmu. Padahal tadinya aku ingin menggunakan Selena untuk membunuhmu."

"Kau sudah bertemu dengannya?"

"Tentu saja. Sayangnya perlindungan Erick sangat kuat, sihirku untuk mengendalikannya gagal begitu saja." Pria itu bertekuk lutut agar sejajar dengan sosok di depannya. "Kalau saja kau mau mengatakan apa yang terjadi pada Lavina, aku tak harus menggunakan cara ini."

SelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang