Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja untuk tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas untuk mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.
Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mataku dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada raja dan ratu.
"Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."
Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang diantara barisan-barisan yang berwarna nan rapi.
Kedatanganku langsung disambut oleh beberapa petugas yang tersenyum ramah dan menawarkan segala bantuan jika aku memerlukan sesuatu. Aku hanya mengangguk santun dan menanyakan beberapa buku sejarah Axylon kepada salah satu petugas yang sudah paruh baya.
Namun ketika aku sedang menyuusuri rak buku, seorang wanita tua sudah berdiri di belakangku. Merasa diamati, akhirnya aku memutar tubuh. Ia sempat ternganga sejenak, aku yang melihatnya hanya terdiam bingung.
"Erick," gumamnya kemudian memelukku. "Erick!"
Aku masih terdiam, namun perlahan tanganku membalas pelukannya tanpa sepatah kata, padahal aku masih dilanda kebingungan karena tak mengenal wanita tua ini. Tubuh rentanya membuat hatiku tersentuh entah kenapa, bahunya bergetar oleh isakan lembutnya.
Salah seorang petugas perpustakaan tampak shock melihat kami dan hendak menegur wanita tua ini, namun aku memberinya isyarat untuk diam agar ia membiarkan wanita tua ini menangis dalam pelukanku.
"Dia—memanggilku Erick, siapa sebenarnya wanita tua ini?" tanyaku dalam hati.
Setelah beberapa menit ia menangis, akhirnya ia mulai mendongakkan wajahnya. Ekspresinya seperti terkejut saat kami saling menatap, ia melepas pelukannya dan melangkah mundur perlahan sambil menunduk. "Maafkan saya tuan putri. Mata saya terlalu tua untuk melihat seseorang," ujarnya dengan suara parau kemudian berjalan pergi sebelum aku menyahutnya.
"Tunggu, nyonya!" panggilku, namun ia sudah menghilang di balik pintu.
Hatiku menjadi gusar seketika sambil bertanya-tanya, "Sepertinya wanita itu juga mengetahui tentang putra mahkota terdahulu. Siapa dia? Apa—dia mantan pelayannya?"
"Nona, kemarilah!" panggilku pada salah petugas perpustakaan yang sedari tadi masih terdiam mengamati kami. "Apa kau tahu siapa wanita itu?"
"Beliau—dulunya adalah ratu Axylon sebelum raja Zealda mewarisi tahta ayahnya," jawabnya.
"Bisakah kau ceritakan padaku apa yang kau tahu tentang raja terdahulu?" tanyaku penasaran.
Kami memasuki ruangan lain dan kini hanya aku dan petugas itu. Kami duduk saling berhadapan lalu ia mulai bercerita beberapa hal yang ia ketahui, sementara aku mulai mencerna kalimat demi kalimat layaknya menyatukan sebuah puzzle rumit.
Kini aku tahu, ternyata wanita tua itu adalah istri raja Herrian yang berarti—ibunda pangeran Erick. Gadis itu juga bercerita bahwa beliau sangat sedih atas kematian putranya bersama putri mahkota. Dalam hati aku jadi merasa risau, karena sepertinya—ayah benar-benar meyakinkan seluruh rakyatnya tentang kematian putra dan putri mahkota terdahulu tewas bersama akibat perang, padahal—mungkin saja kebenarannya tidak seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena
FantasySangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Untuk menghindari kebingungan para pembaca yang membuka kisah ini. Awalnya Selena mengira dirinya adal...