Entah berapa lama, akhirnya aku bisa membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku begitu erat, disusul belaian lembut yang menenangkan.
"Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjangku.
Azura tak menjawab, namun ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya begitu antusias melihatku membuka mata namun juga—kesedihan tak luput dari tatapannya.
"Setelah ini, hukum aku," ujarnya sendu. "Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku."
"Kau—sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang di hukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya—kita."
"Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat.
"Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah.
Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untuk menyiapkan keperluanku termasuk makanan.
"Syukurlah, kondisi anda membaik. Tapi—saya mohon maaf karena—tidak bisa menyelamatkan bayi anda," kata si tabib, dengan nada sendu. "Saya—turut berduka, yang mulia."
Aku hanya terdiam saat menyadari bahwa anak yang selama ini mulai kusayang dan kujaga dengan baik pada akhirnya—memang tak terselamatkan. Kesedihan dan duka melandaku seketika, meskipun aku belum menjadi seorang ibu sepenuhnya, tapi—aku bisa merasakan bagaimana sakitnya hati orang tua yang kehilangan anaknya.
"Jika sudah selesai, kalian boleh pergi," titah Azura seperti menyadari kesedihanku.
"Baik."
Tak lama, mereka semua meninggalkan kamarku dan kini hanya tinggal kami berdua.
"Azura, tolong tinggalkan aku sendiri," lirihku parau.
"Tidak," sahutnya tegas. "Aku takan membiarkanmu menangis sendirian."
Aku segera memiringkan tubuh untuk membelakanginya, air mataku langsung menetes dan semakin lama, napasku semakin sesak dan sesenggukan. Padahal aku sudah membayangkan kelahiran anak itu, dia pasti akan menjadi anak yang lucu. Tapi—semua hilang begitu saja.
Semua salahku, jika saja aku tak mengambil keputusan untuk kembali ke tempat ini, mungkin anak itu akan baik-baik saja. Persetan dengan semua yang ada di sini!
Kesedihan dan juga amarah berbaur dalam benakku, begitu menyakitkan hingga aku tak kuasa untuk menahan rasa yang bergejolak saat ini.
Aku merasakan pergerakan di belakangku saat Azura duduk di tepi ranjang, lalu berbaring mendekapku dari belakang. Ia sudah membenamkan wajahnya di tengkuk leherku dan juga—terisak. Kami menangis bersama, sangat menyedihkan.
Bukan hanya kehilangan anakku, aku juga kehilangan ayah pelindungku, pangeran Erick. Ia telah hilang untuk selamanya, meskipun pergi dengan bahagia namun hati ini begitu terluka.
* * *
Waktu berlalu begitu cepat, dua minggu sudah terlewati begitu saja. Kini aku sudah pulih seutuhnya dan bisa beraktifitas seperti biasa. Namun pembicaraan anak itu masih mengusikku hingga saat ini.
Sampai sekarang, aku masih dilanda rasa penasaran dengan dua anak itu. Sejak aku pulih, mereka tak pernah datang lagi. Dan anehnya, saat aku menanyakan kedatangan anak-anak itu, para pelayan maupun penjaga mengaku tidak tahu soal mereka. Mereka bilang, tidak pernah ada anak kecil masuk ke kamarku.
Ya, ini aneh sekali. Dua anak itu terasa misterius dan aku yakin mereka bukan anak biasa. Tapi, dibanding dengan sosok mereka berdua, ucapan mereka justru yang lebih mengusik pikiranku saat ini, yaitu tentang hukuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena
FantastikSangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Untuk menghindari kebingungan para pembaca yang membuka kisah ini. Awalnya Selena mengira dirinya adal...