Kuda kami melaju menuju Axylon setelah kami menghabiskan malam bersama dengan suasana canggung. Tak kusangka gadis ini begitu lemah terhadap anggur, baru saja minum satu teguk dia langsung mabuk. Menyedihkan!
Kupikir percuma saja dia pandai berpedang untuk melindungi diri jika pada kenyataannya dia langsung tak sadarkan diri saat minum anggur. Meskipun sedikit merepotkan tapi—jujur saja, aku hampir saja tak bisa menahan diri saat kami berciuman di ranjang.
Ya, meskipun secara ritual kami sudah menikah, tapi—gadis ini belum tahu apapun mengenai ritual ini dan pastinya—raja Zealda akan kecewa dengan apa yang telah kulakukan padanya jika beliau juga tahu.
Sepanjang jalan, kami bergantian mengendarai kuda karena sama-sama tidak bisa tidur karena kejadian semalam. Sampai sekarang otakku tak mau berhenti untuk memikirkan apa yang telah kuperbuat padanya, dan aku—masih dilanda takut.
Setelah seharian berjalan, akhirnya kami sampai di Axylon. Kuedarkan pandangan saat memasuki wilayah subur itu dan aku—dibuat takjub oleh pemandangan perbukitan yang mengelilingi wilayah ini, bahkan aku bisa melihat air terjun dalam perjalanan kami.
Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di tanah terlarang untuk orang-orang Vainea sepertiku. Jika perjanjian damai kami berhasil, mungkin—aku bisa mengunjungi tempat menakjubkan ini lagi. Tak kusangka, Axylon begitu memukau dengan hutan rimba yang masih terjaga.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di istana. Satu-satunya bangunan megah yang berdiri di tengah kota yang ramai dan—rapi. Aku dibuat terpana dengan lingkungan di sini. Pemukiman benar-benar tertata rapi dan—bisa di katakan bersih dari gelandangan.
Aku langsung dilanda gugup saat kulihat sosok raja Zealda sudah berdiri di depan pintu masuk istana. Ia menatapku tajam, lalu menatap putrinya dengan tatapan curiga. Sial, kenapa aku jadi setakut ini pada beliau?
"Selena, kita sudah sampai," lirihku sembari mengguncang bahunya lembut.
Tubuhku tersentak saat sebutir apel terlempar di kepalanya. Tak kusangka raja Zealda yang melakukannya, sementara putrinya hanya mengerang.
"Berhenti Sialan!" makinya, masih setengah sadar saat raja Zealda melempar sebutir apel lagi.
"Coba katakan sekali lagi, kau akan dapat bonus apel satu lagi," ujar beliau dingin atas makian putrinya, dan sudah bersiap dengan apel di tangannya.
Aku segera menuruni kuda dan masih tak habis pikir dengan tingkah ayah dan anak ini. Begitupun dengan putri Selena yang menuruni kuda. Kami langsung memberi hormat pada raja Zealda, dan jujur saja, aku sedikit gugup saat ia menatap kami lekat, terutama—pada putrinya.
"Di mana perhiasanmu yang lain?" tanyanya masih memutari putrinya.
"Ada di kantung."
Keningku berkerut heran ketika raja Zealda mengendus-endus rambut putrinya dan membuatku merasa sedikit takut.
"Apa kau pangeran Vainea yang bernama Azura?" tanyanya padaku, sesaat kemudian.
"Benar yang mulia," jawabku santun, menahan gugup.
"Jadi begini kah kelakukan putra mahkota Vainea? Membawa pergi putri orang lain tanpa meminta ijin orang tuanya." Raja Zealda menggenggam lencanaku yang sudah di tangannya dan menatapku geram. "Sebagai putra mahkota, kau benar-benar tak beretika!"
"Maafkan saya yang mulia, saya mengaku salah."
"Apa yang kau lakukan pada putriku? Aku tahu kalian tidur bersama semalam."
Kami berdua saling pandang sejenak dengan mata sedikit melebar. Dalam hati aku bertanya, apa raja Zealda mengirim mata-mata atau—memang memiliki bakat khusus?
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena
FantasySangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Untuk menghindari kebingungan para pembaca yang membuka kisah ini. Awalnya Selena mengira dirinya adal...