Aku segera memanggil tabib untuk datang ke kamarnya. Tak lama seoarang wanita paruh baya datang dan mengecek kondisnya. Ia memintaku keluar selama ia mengecek kondisi Selena dan aku—anya menurut.
"Azura, aku—sungguh tidak tahu rencana ayahku sama sekali. Aku—tidak mungkin mencelakaimu dan—aku juga tak menyangka jika ayahku merencanakan hal itu," ujar Lucia setelah di luar.
"Aku tidak tahu apa kau terlibat atau tidak. Yang jelas, aku tak akan membiarkan Tryenthee mengusai Vainea sedikitpun. Meskipun kau mengaku tidak tahu apapun dan hanya menuruti ayahmu dengan alasan kepercayaan, aku—tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama ini."
"Ka-kau akan memutuskan berpisah denganku?" tanyanya shock dan sedih.
"Yah, mungkin—aku bisa mengambil keputusan itu suatu saat nanti."
"Azura, tolong jangan seperti ini. A-aku sangat bahagia bisa bersamamu, tolong jangan pulangkan aku Tryenthee. Aku sudah menjadi ratumu Vainea kan? Tolong jangan kembalikan aku."
"Tergantung bagaimana situasinya dan separah apa kesalahanmu selama mengambil alih pemerintahan."
"Azura—"
"Sudah malam, sebaiknya kau kembali dan istirahatlah," ujarku menepuk bahunya. "Kau terlihat lelah."
Aku kembali masuk ke mansion Putra Mahkota, meninggalkan Lucia yang masih terpaku. Kini aku melangkah menuju kamar Selena, berharap ia baik-baik saja.
"Bagaimana keadaannya?" tanyaku saat melihat Selena sudah sadar.
"Yang mulia ratu hanya kelelahan. Dia perlu istirahat dengan cukup, jadi anda tidak perlu khawatir," jawabnya, sedikit—tidak meyakinkan.
"Oh baiklah, kau boleh kembali," sahutku ragu.
Wanita paruh baya itu segera pamit undur diri dan meninggalkan kami berdua. Aku mendekatinya pelahan dan duduk di sisi ranjangnya, menatapnya lama untuk mencari sesuatu dari matanya.
"Hari sudah malam, yang mulia. Kau baru saja pulih, jadi—kembalilah dan istirahat," ujarnya sendu.
"Selena."
Ia menarik tubuhnya untuk menjauh saat tanganku ingin meraihnya. "Maaf, aku lelah sekali. Tolong kembalilah ke kamarmu dan istirahat. Maaf tadi sempat merepotkanmu karena sudah membawaku kemari."
Aku terdiam dan menarik kembali tanganku. Rasa sedih ini kembali melanda, saat aku sadar sikapnya—seperti sedang berusaha menjauh. "Baiklah, selamat malam."
Aku berjalan menjauh perlahan untuk meninggalkannya dengan berat hati. Perasaanku berkecamuk dalam satu kerinduan yang selama ini tertahan Dengan cepat, aku berlari kearahnya dan mengecup bibirnya karena tak tahan lagi untuk melampiaskan semua perasaanku padanya.
"Tolong, sebentar saja," bisikku lalu menciumnya lagi. Ya, walau hanya sebentar tapi aku butuh memuaskan rinduku padanya.
Ia berusaha melepaskan diri dan mendorongku sekuat tenaga. "Pergilah dariku, sialan!" desisnya parau dengan napas terengah.
Aku tertegun atas penolakannya. Hatiku kembali bergetar sedih saat ia menatapku kecewa. Aku—tak tahan di tatap seperti itu, mengingatkan kesalahan fatal yang telah kuperbuat.
Aku segera beranjak pergi dengan kesal pada diriku sendiri yang tak bisa menahan diri jika sudah berhadapan dengannyaa. Tapi—aku benar-benar haus akan kehangatan yang pernah ia suguhkan padaku. Apa—aku bisa memilikinya lagi?
.
Beberapa hari setelahnya, aku sibuk menyelidiki semua yang sudah kutahu. Dan setelah kutanya tuan Fredy, ternyata—memang benar. Ia pernah di jebloskan ke penjara oleh Lucia, dan baru dibebaskan setelah pemerintahan diambil alih oleh Selena. Bukan hanya dia, tapi petinggi istana yang lain juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena
FantasíaSangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Untuk menghindari kebingungan para pembaca yang membuka kisah ini. Awalnya Selena mengira dirinya adal...