Rasa

474 98 54
                                    

Mataku mengerjap ketika cahaya matahari masuk melalui jendela yang terbuka. Kurapatkan selimut untuk meneruskan kantukku yang masih menggantung di kantung mata. Bantal yang nyaman membuatku enggan bangkit sedikitpun.

"Yang mulia, sudah pagi. Sebentar lagi waktunya sarapan, anda tidak mau putra mahkota menunggu anda kan?" Loretta mengguncang bahuku lembut.

"Katakan padanya untuk sarapan lebih dulu. Aku benar-benar masih ngantuk," gerutuku semakin merapatkan selimut.

"Tidak bisa begitu yang mulia. Masa setelah kalian menghabiskan malam bersama, anda membiarkan beliau sarapan sendirian?"

Aku membuka selimut sejenak dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata aku memang berada di kamar Azura dan—yah, aku baru tersadar kalau tubuhku hanya berbalut selimut tanpa sehelai pakaianpun.

"Jadi—semalam bukan mimpi?" gumamku masih tak menyangka. "Sial, kami benar-benar melakukannya semalam? Sungguh?" lanjutku membatin.

"Yah, mungkin memang terasa seperti mimpi. Tapi kalian memang sudah melakukannya," bisik Loretta dengan wajah bersemu. "Itulah kenapa saya meninggalkan anda bersama putra mahkota."

"Ah sialan!" Aku menarik selimut lagi untuk menutupi wajahku karena malu.

Pikiranku jadi membayangkan kejadian semalam dan—yah aku merasa wajahku memanas saat mengingatnya. Jantungku kembali berdetak kencang dan rasanya—aku jadi tidak ingin bertemu Azura, pasti canggung sekali. Aku bahkan masih ingat ketika dia membopongku ke tempat tidur dan kami melakukannya sekali lagi di ranjang.

"Katakan pada putra mahkota untuk sarapan lebih dulu. Aku tidak mau bertemu dengannya!" jeritku dari balik selimut.

"Kalau saya sampaikan begitu, putra mahkota malah nanti menyusul anda kemari. Anda pasti tidak mau kan?" Loretta berusaha membuka selimutku. "Cobalah untuk tenang dan jangan gugup. Bersikaplah seperti biasa yang mulia."

Aku membuka selimutku lagi dan menghirup udara sebanyak mungkin. "Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya," rajukku menahan malu.

"Sebaiknya anda cepat bangun dan bersiap. Anda tidak boleh menghindari putra mahkota." Loretta menarik tanganku untuk duduk lalu meremas bahuku. "Hari ini anda harus berdandan dengan cantik, dengan begitu beliau akan terpesona dan anda bisa mengendalikan situasinya," bisiknya menyarankan.

Aku melengos kearahnya dengan rasa enggan untuk bangkit. "Kau yakin akan berhasil? Bagaimana kalau sebaliknya?"

"Tidak akan," sahutnya tanpa ragu namun wajahnya terlihat ragu. "Kita coba saja yang mulia."

Kami langsung bersiap dan ternyata Loretta sudah membawa pakaian dan perlengkapanku agar aku tak perlu keluar kamar. Setelah mandi, Loretta sudah menunjukkan gaun berwarna biru tosca yang terlihat sejuk dimata.

"Akan saya buat anda cantik dengan kesederhanaan anda."

Aku hanya mengangguk dan menurut. Meskipun Loretta lebih kekanakan dari pada Gretta tapi sepertinya mereka memiliki kesamaan, dan juga—Loretta lebih berkompromi pada peraturan istana dibanding pada keinginanku.

Ia menggelung rambutku dan memberi pita kecil yang mungkin tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan sungguh, tapi tidak masalah.

Aku menghela napas panjang sebelum turun menuju meja makan. Jantungku masih berdegup kencang namun aku berusaha mengurangi kegugupanku agar tidak memalukan.

"Ingat yang mulia, anda harus tenang," bisik Loretta ketika kami hampir sampai di ruang makan.

Aku menghela napas lagi dan berusaha bersikap biasa ketika aku duduk di kursiku. Diseberang meja sudah ada Azura yang terlihat sibuk dengan perkamennya dan itu cukup membuatku sedikit lega.

SelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang