Pecahan Masa

885 149 81
                                    

Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.

Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua diruangan. Ayah melirikku sejenak kemudian melanjutkan tulisannya lagi.

Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan kini menjelma menjadi sosok raja yang menakutkan.

"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"

Aku lega, akhirnya ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku." Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu.

"Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?"

"Itu—." Aku memutar otak untuk memulai percakapannya. "Aku—." Sial, kenapa rasanya sulit sekali mengatakannya. "Ayah, aku—semalam—anu—"

Aku tersentak saat ayah meletakkan penanya dengan kasar, bahkan bisa dibilang menggebrak meja. Ia berdiri dan mendekatiku perlahan. Kepalaku menunduk saat ia duduk di sudut meja yang posisinya hampir berhadapan denganku.

"Kenapa kau menunduk seperti itu? Biasanya kau selalu menatapku lantang ketika berbicara."

"Aku bersalah, dan aku tidak berani menatapmu," jawabku masih menunduk.

Kudengar ia mendesah pelan dan kami kembali hening beberapa menit.

"Bagaimana dengan keputusanmu?"

"Aku—akan menikah dengannya."

"Beri aku alasannya."

"Sepertinya aku—menyukainya. Dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu—sepertinya dia juga menyukaiku."

"Apa itu berarti kau menganggapnya lebih tampan dari ayah?"

Keningku berkerut seketika mendengar pertanyaannya yang sedikit narsis. Kudongakkan wajahku perlahan untuk membaca ekspresinya, apakah ia sedang bercanda?

Ayah menghela napas sebelum berkata, "Ya, ada pepatah yang mengatakan kalau seorang ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Itulah kenapa, kebanyakan seorang ayah selalu menilai pasangan putrinya dengan kritis dan detail, apakah dia cocok dengan putrinya atau tidak. Untuk pertama kalinya aku merasa patah hati sebagai seorang ayah. Kau sudah dewasa, tapi aku malah tidak siap dengan kalimatmu, kalau kau menyukainya."

Aku masih terdiam untuk mencerna kalimatnya. Dan—yah, memang benar, ayah adalah satu-satunya pria yang kukenal dan yang paling dekat denganku dan juga—paling memahamiku. Tak bisa kupungkiri bahwa ayah memang cinta pertamaku, bahkan sosoknya takan tergantikan meskipun aku sudah bersanding dengan pria lain.

"Tapi—apa kau yakin dengan perasaanmu?"

Aku mengangguk pelan.

"Ah benar juga." Ayah bedecak sebal. "Kalau kau tidak yakin dengan perasaanmu, mana mungkin kau mau berciuman dengannya," lanjutnya menggerutu.

Aku menunduk lagi dengan wajah tersipu. Ayah melihatnya, bagaimana ini? "Untuk kejadian semalam, aku benar-benar minta maaf."

"Apa dia yang memulai duluan?"

Aku mengangguk pelan tanpa menjawab.

"Ah, kenapa selalu pria yang memulai duluan?" keluhnya.

Aku mendongakkan wajah lagi dengan alis terangkat. "Kalau aku yang memulainya lebih dahulu, bukankah ayah akan semakin marah?"

SelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang