Haiii.
Ini cerita baruku. Kemungkinan ceritanya bakal lebih ringan dari ceritaku yang satu lagi. Semoga banyak yang menikmati.
Thanks
***
Aku memarkirkan mobilku di samping taman rumah keluarga Rizaqi. Sudah sebulan rasanya aku gak datang kesini, tapi Katya sudah kayak anak kecil yang terus merengek minta aku buat datang ke rumahnya.Aku dan Katya sudah 8 tahun bersahabat. Keluarga dia sudah seperti keluargaku, begitu pun sebaliknya. Katya berasal dari keluarga yang sudah kaya turun temurun. Tapi biarpun kaya, sifat kekeluargaan mereka kuat banget. Bahkan Katya sendiri bilang kalau sistem orang tuanya masih kampungan.
"Mitaaaa!" Teriaknya begitu melihatku. Aku merentangkan tanganku agar bisa memeluknya.
"Baru sebulan aja deh gue gak kesini. Kayak udah tahunan aja."
Katya melepaskan pelukannya. "Eh, apaan sih. Biasanya kalaupun kita sibuk lo juga sering main kesini kan?"
Aku mengangguk. Memang iya, aku sering banget kesini. Bukannya gak punya keluarga, tapi keluargaku tinggal di Semarang. Jadi aku tinggal sendirian di Jakarta. Itulah yang buat aku sering ke rumah sahabatku ini.
"Lo gak koas?" Tanyaku.
"Hari ini enggak. Makanya gue paksa lo kemari."
"Ayah Bunda kemana? Kak Windy juga kemana?" Tanyaku menanyakan orang tua dan kakaknya.
"Ayah Bunda lagi di Singapore ngurus bisnis. Kak Windy lagi jalan sama cowoknya. Oh iya, lo harus datang ya acara kawinan Kak Windy."
"Ya iyalah. Mana mungkin gue gak datang acara kawinan kakak gue." Ujarku sambil tersenyum lebar.
"Oh iya, lo juga harus datang ke acara wisuda gue. Kalo enggak gue gak bakal datang pas lo wisuda nanti." Ancam Katya.
"Iya iya! Cerewet banget sih. Lagi pula gue duluan kali yang wisuda. By the way, gak nyangka ya orang bego kayak lo bisa jadi dokter." Ejekku lalu tertawa seperti kerasukan. Katya yang merengut langsung memukul kepalaku.
"Sembarangan! Abis ini aja gue mau ambil spesialis wek." Katya menjulurkan lidahnya.
Kami terus mengobrol sampai tak terasa hari semakin gelap. Aku pun akhirnya memutuskan untuk menginap di rumah ini saja. Aku bisa meminjam pakaian Katya malam ini.
"Eh, gue haus. Ambilin gue minum dong." Ujarku di sela-sela obrolan kami.
"Lo ambil aja sendiri. Jangan bilang lo lupa dapur rumah ini." Balas Katya. Aku mendengus. Baiklah, aku ambil minumku sendiri.
Dengan santai aku berjalan menuju dapur. Membuka kulkas dan mengambil satu kaleng minuman kola. Entah kenapa hari ini rumah kayaknya sepi banget ya? Kemana semua pembantu? Eh, kok tiba-tiba aku ngerasa horror ya?
"Aaaaaaaa!!!!"
Aku spontan berteriak kaget sekaligus menutup mataku dengan kedua tanganku. Apa yang kulihat barusan tadi nyata?
Perlahan aku menurunkan tanganku dan mulai membuka mata. Sosok itu masih diam disana dan dengan santai berjalan menuju kulkas yang ada di dekatku. Dia mengambil minuman juga. Lalu melihatku dengan tatapan mata seperti ingin menelanku bulat bulat. Ternyata memang nyata! Makhluk itu hanya menggunakan handuk yang melilit di sekitar pinggulnya, seperti baru selesai mandi.
Shittt! Dia seksi sekali, Tuhan!
"Pembantu baru disini?"
Eh?! Apa? Dia bilang aku pembantu?
"Eh... bukan kok. Saya temennya Katya. Maaf ya soal reaksi yang berlebihan tadi. Saya kaget."
"Oh, lain kali kalau bisa sikapnya lebih sopan." Dia mengatakan itu dan meninggalkanku begitu saja di dapur. Tanpa melihat ke arahku lagi.
Aku bagaikan dilempar kotoran, bro. Ya, kuakui aku tadi berteriak. Tapi salah dia sendiri dong yang muncul tiba-tiba. Soal gak sopan? Kayaknya dia deh yang lebih gak sopan cuma pake handuk doang. Malah ngomongnya pake muka datar segala lagi. Siapa sih tu cowok. Nyebelin banget sumpah!
Aku berlari dari dapur menuju lantai atas ke kamar Katya. Aku berlari layaknya lomba lari maraton.
"Apaan sih Mit? Kok ngos-ngosan gitu?" Tanya Katya heran.
"Gue ngeliat hantu Kat." Jawabku histeris.
"Ha? Hantu?" Katya melototkan matanya. "Seriusan lo? Seumur-umur gue tinggal disini belum pernah tuh liat hantu."
"Serius! Tadi gue liat cowok pake handuk doang. Mukanya ganteng, tapi ekspresinya datar. Suaranya seksi, tapi omongannya nusuk banget."
Katya malah diam lalu tertawa terbahak-bahak. Aku cuma diam, kurasa sekarang dia mulai gila.
"Itu abang gue loh, Mita." Ujar Katya sehabis tawanya.
"Abang lo yang mana lagi?" Tanyaku heran.
"Ya abang gue, Kak Devan. Yang tinggal di Australi itu."
Pikiranki pun mulai flashback, berusaha mengingat abang mana yang Katya maksud.
Oh, aku sudah ingat! Memang saat pertama kali aku masuk ke rumah ini, ada foto keluarga yang terpajang di ruang tamu. Foto itu ada Katya, kedua orang tuanya, Kak Windy, dan ada cowok yang Katya bilang itu abangnya. Abangnya itu anak paling tua di keluarganya. Dan Katya bilang abangnya itu tinggal di Sydney dari kuliah, dan jadi pengacara disana. Karena aku orangnya cuek, ya sudah aku pun gak tanya lagi soal itu. Bahkan namanya pun aku gak tau. Ternyata namanya Devan toh.
Tunggu dulu! Di foto keluarga kok beda ya. Walaupun gak bisa dikategorikan kurus banget, tapi seingatku badannya gak segede tadi. Yang ku lihat di dapur badannya keren banget. Hampir aku lupa daratan cuma karena liat body nya.
"Mita, lo kok bengong?" Katya memukul pelan kedua pipiku.
"Gak papa Kat. Gue cuma sakit hati aja sama omongan abang lo tadi." Ucapku dengan nada tak bersemangat.
"Ya udah deh, gue minta maaf sama apapun yang dia bilang. Kak Dev memang gitu orangnya, lain dari pada yang lain. Dia nakal banget anaknya. Terus kalo ngomong suka to the point, gak mikirin perasaan orang."
Ya to the point gak segitu juga kali. Tapi ya sudahlah, aku memilih mengangguk dan memaafkan apapun perbuatan si Devan. Tapi ngomong-ngomong umurnya berapa ya?
Aaahh Mitaaa! Kan ceritanya aku sakit hati, kenapa kesannya jadi kayak tertarik gitu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me Closer
RomanceAku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat sialnya aku bertemu dengan Devan. Pria yang dingin, kasar, dan sinis. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Devan adalah pria dengan selera yang...