12

70.8K 3.7K 16
                                    

"Hai kak."

Suara Katya kedengaran jelas di telingaku. Saat ini aku bersembunyi di kamar tamu yang ada di apartemen Devan. Kata Devan kemungkinan kamar ini aman karena gak bakal dimasukin sama Katya. Lagipula ngapain sih Katya datang pas pagi-pagi gini. Tapi kan Devan emang abangnya. Terserah dia sih mau datang kapan aja.

Sejujurnya aku gak bisa tenang. Daritadi aku hanya duduk dibalik pintu supaya bisa dengar semua pembicaraan kakak adik itu. Aku cukup gak bisa membayangkan kalau seandainya Katya tau aku ada disini. Mungkin Devan sih bakal biasa-biasa aja. Sedangkan aku? Apa yang harus aku bilang ke Katya, ke Ayah Bunda?

Memang sih kita berdua gak ada ngapa-ngapain. Tapi mengingat kedua orang tua Devan yang masih menjunjung adat ala timur yang kampungan pasti tetap aja bakal mikir yang aneh.

"Kak Dev tadi malam bawa cewek lagi ya?" Tanya Katya yang walaupun tidak begitu jelas, tapi begitulah yang terdengar di telingaku. Mati!

Entah apa yang dijawab Devan aku tidak tau. Tapi aku dengar suara Katya yang marah-marah membahas soal perempuan yang dibawa Devan tadi malam. Malangnya perempuan itu aku.

Satu jam juga aku duduk dibalik pintu kamar ini. Dan akhirnya ada suara ketukan dari luar. Aku sedikit takut, karena mungkin aja itu Katya.

"Ini gue."

Aku menghela nafas lega. Aku buka kunci pintu itu lalu membuka sedikit pintu dan melihat Devan yang sudah kembali memasang wajah datarnya.

"Gue udah bisa pulang kan?" Tanyaku yang masih terbawa suasana takut.

"Terserah sih. Asalkan kalau bisa lo jangan pake lagi sepatu lo itu." Ujar Devan dengan nada datar.

Mulutku menganga masih belum paham sama apa yang dia bilang. Dan Devan mengusap-usap wajahnya. Sepertinya dia tau aku kurang mengerti perkataannya.

"Tadi Katya ngeliat sepatu lo. Dia nuduh gue bawa cewek lagi. Jadi kalau bisa lo jangan pake lagi sepatu itu."

"Kan gue gak setiap saat ketemu Katya."

"Tapi kalau tiba-tiba lo gak sengaja ketemu dia, terus lo lagi pake sepatu itu gimana?"

Aku membentuk mulutku huruf O. Sebenarnya sedih juga, masa gak boleh pake sepatu itu lagi. Padahal sepatu itu aku beli sama temanku yang waktu itu berlibur ke Milan. Mahal pula...

"Lo mau gue anter?" Tawar Devan. Sebuah tawaran dengan nada yang dingin.

"Gak usah! Mulai sekarang gak usah deh ngusik hidup gue. Gue mau ditidurin sama siapa itu juga bukan urusan lo. Lo tuh cuma nambah beban gak enak gue ke Katya. Jadi gak usah sok perhatian lagi." Ujarku panjang lebar dan langsung keluar dari apartemennya. Devan bersikap kayak gak ada masalah dengan ucapanku barusan. Dia malah mengacuhkanku.

Devan membukakan pintu untukku dan aku langsung keluar tanpa izin. Devan pun membiarkanku keluar dan langsung menutup pintunya. Dasar laki-laki gak berperasaan!

***

Aku berjalan melewati beberapa karyawan. Biasanya aku saling sapa dengan beberapa karyawan ini. Tapi udah seminggu belakangan aku gak ada mood buat nyapa mereka. Entah kenapa sejak kejadian di apartemen Devan membuat jiwaku terasa kosong. Sebagai wanita aku terlalu naif. Sejujurnya aku marah karena dia melarangku buat pake sepatuku itu. Jangan bilang aku bodoh, karena semua wanita pasti juga kesal jika berada di posisiku.

Aku masuk ke ruangan kerjaku. Aku sedikit bingung melihat ada kotak di atas meja kerjaku. Aku buka kotak itu. Aku kaget melihat isinya yang ternyata sepasang sepatu. Sepatu bermerk sama dengan sepatuku yang dari Milan, namun dengan model yang beda. Tapi gak kalah bagus, bahkan lebih bagus dari punyaku.

Di kotak itu juga terdapat surat. Aku baca surat itu.

Maaf, gue ngelarang lo pake sepatu lo yang lama. Gue gak tau sih sepatu itu berharga apa enggak buat lo. Tapi gue ngerasa bersalah aja. Jadi sebagai gantinya gue beliin yang baru. Maaf gue baru bisa kasih sekarang, karena butuh waktu buat pesan sepatu ini.

P.S: Ini bukan wujud perhatian. Tapi sebagai permintaan maaf gue.

Aku merebahkan tubuhku di kursi. Aku gak terpikir dari mana Devan bisa tau apa yang membuatku marah. Dia juga bilang ini sebagai permintaan maaf, bukan perhatian. Aku kira dia mengacuhkanku. Tapi ternyata dia benar-benar mencerna perkataanku minggu lalu.

Sekarang aku bingung menghubunginya, membiarkannya, atau mendatanginya langsung ke ruangannya. Aku suka sepatu ini dan aku yakin sepatu ini lebih mahal dari sepatuku. Aku gak nyangka sebegitu detailnya dia tau perasaanku.

Devan memang bisa dibilang gentleman. Dia bukan tipe pria yang banyak omong. Dia mungkin kelihatan dingin dan cuek. Tapi sebenarnya dia perhatian. Aku memang belum bisa menyimpulkan dia peduli sama aku. Tapi yang jelas dia bukanlah seburuk yang ku kira.

Walaupun begitu, aku tetap pada pendirian. Aku gak akan berharap lebih. Devan mana mungkin suka sama aku. Aku gak begitu cantik, pendek, gak seksi. Sama sekali bukan tipe Devan. Dia mungkin melakukan semua ini karena udah mengganggapku adik. Ya, adik. Lihat aja dia yang sedingin apapun tetap perhatian sama Katya. Jadi apapun yang dia lakukan ke Katya, juga dia lakukan kepadaku.

***

"Mit, ke rumah gue dong. Udah lumayan lama kita gak ketemu. Gue juga mau cerita kalo gue udah punya pacar loh." Suara Katya di telepon membuat telingaku menggema.

"Iya, minggu deh gue ke rumah. Oh ya, lo pacaran sama siapa? Perasaan gue kayaknya lo gak ada deket sama siapa-siapa." Ujarku heran.

"Iya sih, kita baru deket sekitar 3 minggu yang lalu. Dia direktur, ganteng, baik pula. Gue seneng banget, Mit. Oh iya, lo kapan punya pacar kayak gue?"

"Setan lo! Ujung-ujungnya gue lo sudutkan. Nanti deh terserah Tuhan aja."

"Yee jangan gitu dong. Setidaknya lo juga berusaha. Liat tuh, Dion aja mati-matian ngejar lo." Katya tertawa.

Aku mendengus. "Eh, Dion udah gue anggap sahabat gue. Lagipula kayak gak ada aja yang mau sama gue." Ucapku sambil meminum kopi instan yang baru ku buat.

"Jadi lo maunya sama siapa? Sama abang gue, mau?"

Air kopi yang masih berada di mulutku sontak keluar. Siapa lagi abang yang dia maksud kalo bukan Devan. Dari hati yang paling dalam sih aku mau banget. Tapi mana mungkin.

"Hahaha.. bercanda lo Mita. Mana mungkin gue ngejodohin lo sama Kak Dev. Bukannya sebagai adik gue kurang ajar ya. Cuma Kak Dev emang tipe pasangan yang gak cocok buat orang sebaik lo."

"Hmm.." Aku hanya bergumam. Aku ngerti apa yang dimaksud Katya.

Selanjutnya aku kurang konsentrasi mendengarkan curhatan Katya dengan pacar barunya. Sampai akhirnya kami memutuskan sambungan telepon kami dan beranjak tidur. Tapi udah pasti aku gak bisa tidur. Perasaanku masih was-was karena gak menghubungi Devan sama sekali.

***

Pagi ini udah aku putuskan untuk naik ke ruangan Devan. Entah apa yang mau aku bilang ke dia yang jelas aku harus ketemu dia hari ini.

Pukul 9.25 aku naik menuju ruangannya. Seperti biasa sekretarisnya menyapaku dengan senyum terpaksa. Aku balas dengan senyuman yang gak kalah 'terpaksanya'. Tanpa basa basi aku langsung tanya keberadaan Devan. Untunglah Devan ada di ruangannya. Aku ketuk dan dia menyuruhku masuk. Devan kayak keheranan saat melihatku masuk.

"Ada apa Mit?"

"M..makasih ya." Ucapku to the point.

"Buat?"

"Buat sepatunya."

Devan tersenyum hangat. "Sama-sama."

Aku tersadar dari lamunanku saat dia mulai memudarkan senyumannya. "Oh yaudah, gue balik ya."

"Mit, nanti malam lo ada acara gak?" Tanyanya tiba-tiba.

"Enggak. Kenapa ya?"

"Sini kunci mobil lo." Aku pun memberikan kunci mobilku. "Nanti malam kita pulang bareng ya."

Terkutuklah aku yang gak bisa menahan godaan buat pulang bareng dia. Sebenarnya buat apa juga sih ngajak pulang bareng padahal aku bawa mobil sendiri. Ck.




Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang