25

62K 3.2K 63
                                    

Kalo ada typo mohon dimaklumi. Efek nulis pas tengah malam.
 

***
 
 
Aku melenggang masuk ke dalam kantor. Keadaan agak membaik, orang-orang mulai bersikap seperti dulu lagi meskipun masih ada beberapa orang yang memandangku sinis. Tapi terserah mereka, aku gak peduli. Jangankan buat mikirin mereka, untuk atasi masalahku sendiri aja aku belum bisa.

Selang 2 hari berlalu sejak kejadian di apartemenku dengan Dion waktu itu. Perasaanku pun masih mengganjal. Gak kusangka betapa sempitnya kehidupan ini, dimana Katya dan Dion saling terhubung dengan Devan. Hidup memang penuh kejutan, ya? Aku pikir hidupku akan berjalan datar-datar aja, secara selama ini masalah yang kuhadapi gak begitu berat. Tapi ternyata sekarang aku punya masalah besar dan aku gak tau cari jalan keluarnya. Semuanya terasa buntu.

Selama 2 hari ini juga kantor makin gempar dengan perpindahan jabatan Devan. Terutama karyawan cewek, mereka kelihatan sedih karena kemungkinan pertemuan mereka dengan Devan akan semakin menipis. Ya, termasuk aku. Memangnya posisi presdir itu kayak gimana, sih?

Waktu terasa berjalan sangat lama. Benar yang Devan bilang kalau dia bakal jarang untuk berkomunikasi sama aku. Aku maklum kok. Selain sibuk, perbedaan waktu 24 jam juga menghambat komunikasi kami. Jadi yang terpenting sekarang aku tinggal menunggu dia pulang dan minta penjelasan tentang masa lalunya.

Dan disinilah aku, memandang keluar jendela dan pikiranku pun terbang entah kemana. Kuakui, aku galau berat. Pengen rasanya aku temui Dion, kemudian minta maaf sebesar-besarnya. Tapi percuma, dia gak akan pernah maafin aku sebelum aku sanggup buat putusin Devan. Ya, aku mengerti posisinya. Dia bukan egois, tapi dia gak mau aku tersakiti.

Makan siang kali ini aku habiskan bersama Nanda di restoran dekat kantor. Sesekali dia menatapku heran. Tapi bibirnya gak mengeluarkan sepatah kata apapun. Mungkin dia takut untuk bertanya. Aku pun berinisiatif buat mencairkan suasana yang tegang hari ini.

"Kalau ada yang mau ditanya, tanya aja." Ujarku yang disambut sikap kagetnya.

"Gak ada kok, Bu." Dia menggelengkan kepalanya.

"Yakin?" Aku menaikkan alisku. "Gak apa-apa kok. Malu bertanya sesat dijalan lho."

Dia menatapku ragu-ragu. Tapi akhirnya dia berani bertanya juga. "Bu Mita kelihatan murung banget hari ini. Gak kayak biasanya. Hmm, kangen Pak Devan ya?"

Aku tertawa. "Kamu ini ada ada aja. Gak wajar banget kan aku kangen sama big boss."

"Wajar dong, Bu. Kan Bu Mita pacarnya." Kata Nanda dengan polosnya. Tapi sontak membuat senyumku makin mengembang.

"Ngomong-ngomong kamu tau darimana aku pacarnya?" Tanyaku sambil memakan dessert berupa kue yang aku sendiri pun gak tau namanya. Tapi enak.

"Saya taunya sih dari mulut ke mulut." Jawabnya. Aku pun ber'oh' ria. Pantas aja dia percaya, dari mulut ke mulut toh. "Tapi saya pernah denger dari divisi marketing, katanya sumber beritanya dari luar kantor kita. Saya aja bingung."

Aku pun mendadak berhenti mengunyah. "Luar kantor?" Aku pikir ruang lingkup hubunganku dengan Devan belum seluas itu.

Shit! Baru kusadari, orang pertama dan satu-satunya yang tau hubungan kami cuma Valerie. Dasar siluman belatung! Bisa-bisanya dia menyebar gosip secepat ini. Apa yang dia rencanakan sampai satu kantor harus tau soal ini? Aku pikir kalau pun seluruh karyawan harus tau hubungan kami, itu bukan masalah besar. Tapi kalau sumber semua ini karena Valerie, bisa dibilang ini alarm bahaya. Atau jangan-jangan Dion tau masalah ini dari si medusa itu juga. Arrghh sialan!

"Katanya begitu, Bu." Nanda mengangguk. Sedangkan aku cuma tersenyum kecut. Aku pun menggenggam garpu seerat-eratnya. Awas aja kalau nanti aku ketemu perempuan itu, gak akan ada ampun lagi. Aku bakal tendang dia habis-habisan.

Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang